Pov : Iqbal Indra
Di ruang tamu pondok yang cukup luas seluruh keluargaku berhadapan dengan keluarga Abi. Meminta pendapat mengenai santriwan baru yang menolak ditemui siapapun. Sekalipun orang itu mengaku keluarganya.
"Lalu bagaimana ini Dar? " keluh Pak Riski lagi. Lagi-lagi bapakku itu hanya bisa mengelus ibu yang terlihat khawatir.
"Begini saja Ris. Panji biar di pondok dulu. Nenangin diri. Waktu saya bertemu dengannya dia sangat kacau. Bahkan dia harus dirawat seminggu karena radang dinding lambung dan dehidrasi. Pergelangan tangannya ada bekas ruam seperti habis diikat. Dan badannya... " Abi menghentikan penjelasannya saat melihat ibu menangis dan semakin mendekap bapak lebih erat.
Bulu kuduk kami semua meremang. Ruam? Diikat? Apa selama ini Mas Panji dikurung, tak diberi makan seperti peliharaan yang sengaja disiksa? Tapi bagaimana bisa? Siapa yang tega melakukan tindakan tak manusiawi seperti itu? Hanya psikopat yang tega melakukannya!
"Intinya Ris. Dia masih belum menemui siapapun. Hanya Lina yang ia kenali. Karena ia mendapati Lina saat terbangun dari kritisnya. Mungkin Lina bisa membujuknya untuk kembali kepada kalian lagi? " kata Abi lagi.
"Kalau itu yang terbaik, tolong ya Dar. Tolong putra kami yang tersesat itu ya.. " kata bapak. Pelukannya pada ibu tetap tidak mengendur. Seolah jika lengah sedikit saja ibu bisa luruh dan pecah berkeping-keping.
"Pasti Ris, pasti! Aku akan berusaha sebaik mungkin. "
"Bolehkah kami melihatnya? Dimana ruangannya? " Ibu terisak.
Abi mengangguk dan mengantarkan kami ke lantai dua. Kamar Mas Panji dipindah karena keributan kemarin yang membuat Mas Panji memilih suasana sepi daripada dibawah yang kadang penuh dengan hiruk pikuk siswa.
"Mas Panji, ini Lina. " tuk tuk. Lina mengentuk pintu lembut.
"Lina sama siapa? " suara Mas Panji terdengar jelas. Dia tepat berada di balik pintu.
"Lina sama Abi, dan.. ibunya Mas Panji? "
Tak ada jawaban. Ibu maju dan menempel pada daun pintu. "Panji ini ibu. Panji nggak salah. Jadi Panji nggak perlu takut bertemu ibu.. "
".."
"Panji itu anak baik. Anak kebanggaan ibu. Ibu kangen sama Panji. Kenapa Panji nggak buka pintunya? " ibu sekuat tenaga menahan tangisnya meledak histeris.
Beberapa lama kami tak mendengar jawaban. Hampir setengah jam sudah suasana disekitar hening. Penuh dengan rasa sesak akibat rasa rindu yang tak kunjung tersampaikan. Akhirnya ibu luruh ke lantai dan bapak membantunya berdiri.
"Sabar dulu bu.. Kita harus lebih sabar lagi." kata bapak menenangkan.
Ibu pingsan. .."Ibu.. " seru kami anak-anaknya. Kami membantu membawa ibu ke kamar tamu bawah untuk mengistirahatkannya.
Bapak juga ikut berbaring. Menginstirahatkan pikiran dan raganya disamping istrinya.
"Sebaiknya kita pulang dulu. " ajak mas Akhnas. Kami semua adiknya menuruti untuk pulang.
Mas Panji. Terlalu banyak hal yang ia tanggung sendirian. Terlalu lama mengerak disana. Hingga ia pasti sangat menderita. Bahkan sampai saat ini pun ia masih enggan membagi dukanya dengan keluarganya.
Kenapa Mas Panji? Padahal kau dulu orang yang terbuka. Tidak mempunyai pikiran sempit seperti sekarang. Kenapa? Demi menyembunyikan luka kau tutupi juga dengan luka. Andai saja Mas Panji langsung pulang saja dan menghadapi kenyataan yang sudah ada. Tidak harus membuat dirimu hancur sedemikian rupa.
***
Panji
Kelopak mata berisi manik hitam sayu itu perlahan terbuka. Tubuhnya kembali lemas. Perutnya seperti digilas dengan besi-besi yang membuatnya meradang.
"Mas Panji makan yaa.. " suara lembut Lina memecah pendengaran Panji. Airmata lagi-lagi mengalir dari pelupuk Panji.
"Lina? " panggil Panji lemah.
"Hm? "
"Kaifa hal? "
Lina yang gantian menangis. Cengeng. Ia sangat tidak tega melihat kondisi kelaki yang kini dililiti infus 'lagi' di pergelangan kirinya. "Mas Panji sendiri bagaimana? Keadaannya? "
"Panji baik-baik aja Lin. "
Lina menggigit bibir ranum bawahnya. Dadanya merasa sesak. Tanpa sadar ia malah mengelus airmata Panji yang bukan mahromnya. "Kalau gitu jangan nangis lagi. Katanya Baik-baik saja? "
Lina tidak tahu saja bahwa Panji merasa kesakitan di seluruh tubuhnya juga hatinya. Makanya ia menangis. Begitu saja merasa lemah didepan seorang wanita solihah yang merawatnya selama ini.
Rasanya dejavu.. Seperti ada sosok wanita lain yang berusaha Panji ingat namun belum juga berhasil. Malah membuat kepala Panji menjadi pusing.
"Mas Panji makan buburnya ya? "
Panji mengedip untuk memberi jawaban. Dengan patuh Panji menerima suapan demi suapan Lina.
Merasa nyaman diperlakukan Lina. Diperhatikan Lina. Menerima kasih sayang walaupun hanya belas kasihan dari Lina. Panji sangat mencintainya."Lin. "
"Hm? "
"Keluargaku jahat tidak? "
"Jahat? Tentu saja nggak. Mereka sangat baik dan ramah. "
"Tapi.. Orang bernama Iqbal itu pasti mau mukul aku kalau ada kesempatan. "
"Ya nggak mungkin lah Mas. Dia itu adik Mas Panji. "
"Tapi.. Aku nggak suka dia Lin. Auranga jahat. Dia kayaknya bisa mukul kapan aja. " Panji. Dimata Lina seperti anak kecil yang meminta perlindungan.
"Mas Panji tidur saja ya? Biar Mas Panji nggak pusing lagi. "
"Lina, kalau Panji tidur Lina jangan pergi ya? Lina tetap sama Panji kan? "
Sejujurnya Lina kasihan. Namun ia juga bingung terhadap perasaannya. Hatinya telah mantab memilih Iqbal. Bahkan ia tak sabar menunggu Iqbal melamarnya. Namun.. Melihat lelaki yang berharap padanya seperti ini membuat ia ngilu. Perih. Mana mungkin seorang wanita memiliki dua hati lelaki yang harus ia jaga? Itu hanya akan menghancurkan hati ketiganya.
***
Mohon tinggalkan jejak yaa..
KAMU SEDANG MEMBACA
PANJI (Completed)
SpiritualBagaimana rasanya saat hidup hanya dihantui dosa besar? Dosa itu bahkan menjadi penyebab ia harus putus kuliah. Dosa itulah yang membuat ia pergi jauh dari keluarganya, dan menjalani kehidupan di jalan dengan terlunta-lunta. Dosa itu tak terhapuskan...