2

3.2K 185 33
                                        

"Terimakasih, Jimin-ah!" Teriak Taehyung dengan senyum lebarnya. Jimin mengantarkannya pulang.

"Hei! Dalam sebuah pertemanan, tidak ada kata terimakasih dan maaf, Taehyung!" Seru Jimin tidak suka dari balik kemudi.

"Ah, nde. Kau yang menang," Jawab Taehyung acuh karena Jimin selalu mempermasalahkan kata yang seharusnya umum di kalangan mereka.

Jimin memutar bola matanya malas.
"Ya, sudah. Aku pulang dulu. Sampai jumpa! Jangan rindu aku, ya?!" Ujarnya jahil.

Taehyung berpura-pura muntah dan Jimin tergelak melihat reaksi Taehyung yang menurutnya terlihat lucu.

"Jaga dirimu baik-baik, Taehyung-ah! Bye!" Ujar Jimin dan berlalu pergi dengan mobilnya.

Taehyung tersenyum tipis melambaikan tangannya ke bagian belakang mobil Jimin yang kian menjauh.

Bukankah seharusnya aku yang menyuruhmu untuk tetap baik-baik saja, Jimin-ah?

-

Jika ingin jujur, saat ini Jimin sangat malas untuk pulang.

Jika siswa lain bergegas ingin segera pulang, Jimin berbeda.

Dirinya sadar melewati batas waktu dirinya pulang sekolah. Jimin menyadari itu saat memaksakan dirinya untuk menunggu Taehyung yang kerja kelompok.

Jimin ingin mencoba pulang terlambat untuk terakhir kalinya. Dirinya bertekad saat menatap senja tadi.

Dirinya menyetir dengan sangat pelan kendaraan mewahnya. Berharap jarak rumahnya masih jauh dan tidak tergapai. Tetapi, akan sampai waktu dimana sudah berada tepat di depan gerbang istananya.

Benar. Rumah Jimin bak istana seperti rumah impian semua orang. Memiliki beberapa kendaraan dan fasilitas yang mencukupi. Tetapi, Jimin merasa semuanya tidak berguna.

Dirinya tidak sebebas remaja pada umumnya.

Jimin menghembuskan nafas ya pelan saat mobilnya sudah berada tepat di depan pintu utama.

Jimin menganggukkan kepalanya sopan kepada asisten ayahnya yang selalu menyambutnya pulang sekolah dengan senyuman lebar.

"Sudah cukup bersenang-senang hari ini, Park?"

Suara intimidasi tersebut memenuhi ruang utama.

Membuat Jimin tertunduk terdiam, tidak berani melangkah.

"Sudah berapa kali ku peringatkan untuk tetap menjaga waktumu?! Bukankah masih banyak tugas yang kamu lakukan daripada pergi berkeliaran hingga malam seperti ini?" Tanya ayah Jimin yang melangkah mendekati posisi Jimin.

Jimin menggigit bibir bawahnya pelan.
Dirinya muak.

Jimin berpikir, jika dirinya terlanjur basah bagaimana jika dirinya sekaligus berenang saja.

Jika dirinya tadi sudah terlanjur terlambat pulang ke rumah, sekalian saja Jimin ingin sesekali menyuarakan pendapatnya selama ini.

Jimin menatap wajah ayahnya pelan. Mengumpulkan keberanian untuk menjawab setiap perintah ayahnya sejak dulu.

"Sekarang masih pukul setengah tujuh, Appa! Aku tidak akan meninggalkan tugas yang sebenarnya bukan untuk seusiaku." Jawab Jimin.

Jimin berharap. Dengan dirinya mengeluarkan semua isi hatinya, mungkin ayahnya akan menyadari bahwa semua perintahnya salah.

Lagi-lagi harapan Jimin luntur saat layangan tamparan ayahnya teras nyata di pipi kirinya.

"SUDAH BERANI MEMBANGKANG?! SUDAH BERANI MENJAWAB?!" teriak ayahnya menggebu.

Jimin menundukkan kepalanya. Sepertinya keputusannya kali ini benar-benar salah.

"Menunduk!"

Jika titah seperti ini sudah diperintahkan, Jimin harus segera menurutinya.

Dirinya dengan lekas menurunkan tas sekolahnya, membuka jas dan seragam sekolahnya sambil menahan pipinya yang masih berdenyut nyeri. Menyisakan tubuh bagian atasnya yang bersih tanpa pakaian apapun dengan punggungnya yang masih ada luka basah.

Ayahnya sudah siap dengan ikat pinggangnya. Mengabaikan Jimin yang merintih kesakitan saat punggungnya kembali dicambuk untuk kesekian kali.

Luka lamanya masih baru tadi malam, tetapi malam ini ayahnya kembali menambahi.

-

Entah berapa kali cambukan ikat pinggang ayahnya. Entah berapa kali rintihan yang lolos dari bibir mungilnya.

Semuanya tidak ada rasa sakitnya sama sekali. Semua perih di punggungnya di tutupi oleh rasa perih di hatinya.

Bagaimana perkataan ayahnya selama mencambuknya sedari tadi.

Dasar anak tidak berguna!

Bagaimana kau bisa hidup jika hanya bersenang-senang seperti ini? Hah!?

Patutlah ibumu mau mengakhiri hidupnya karena tidak kuat merawat anak tak berguna sepertimu, Park Jimin!!

Ini semua karenamu!!

Seandainya aku tidak memiliki anak sepertimu mungkin istriku masih tetap bersamaku hingga saat ini!!



















Kau benar, Appa. Aku adalah anak yang tidak berguna.

Gumam jimin di kamar mandinya sembari menggoreskan sesuatu di lengan kirinya.

Gomawo✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang