6

1.8K 145 17
                                    

Jimin berusaha terus berlari tanpa membuat suara. Bahkan Jimin menahan isak tangisnya sejak air matanya tumpah ruah tanpa aba-aba. Membuat dadanya sakit bergemuruh dengan perih di hatinya yang terasa nyata.

Jimin tidak sengaja langsung menggenggam erat pisau buah yang ia ambil tadi. Terus berlari menuju taman belakang rumahnya. Taman belakang yang dulunya dibuat khusus karena permintaan ibunya.

Tunggu dulu. Apakah Jimin masih pantas menyebutnya ibu? Mengingat keadaan status dirinya yang sebenarnya.

Jimin seketika terduduk tepat di bawah pohon yang tidak terlalu besar tetapi daunnya cukup rindang. Suasana masih dingin bahkan matahari saja masih belum muncul. Hanya langit gelap dengan lekukan awannya yang sedikit terlihat jelas.

Jimin menatap telapak tangannya yang berwarna merah. Rasa perih di tangannya masih kalah dengan rasa perih di hatinya. Jimin hanya menatap kosong telapak tangannya yang berdarah-darah dengan air matanya yang tidak berhenti.

Jimin menggeram kesal. Dirinya butuh pelampiasan, dirinya ingin kembali menjadikan lengannya sebagai kanvas seperti biasanya. Agar rasa sakitnya berkurang.

Jimin baru menyadari saat tangannya yang terlanjur berdarah tidak menggenggam apapun. Pisau buahnya jatuh entah dimana.

Jimin memukul-mukul tanah rerumputan dibawahnya. Berusaha menyalurkan sakitnya dengan sekuat tenaga. Tidak peduli dengan penampilannya yang acak-acakan, Jimin tetap memukul apapun disekitarnya disertai tangis pilunya.

Cacian dan tuduhan yang selama ini ayahnya utarakan, ternyata benar adanya. Mengapa Jimin tidak pernah menyadari itu.

Jimin kesal. Jimin sedih. Jimin sesak. Jimin menyerah. Jimin malu. Jimin bodoh. Jimin tidak berguna. Jimin pembunuh.

Semua kata-kata buruk yang terlintas di pikirannya, membuat Jimin semakin gencar memukul apa saja di dekatnya.

Jimin menarik rambutnya pelan.

Tangisannya lirih namun memilukan. Seakan-akan kesedihannya terdengar dan tersampaikan. Rasa sakitnya tersalurkan dengan isak tangisnya yang sesekali Jimin tahan. Perihnya selaras dengan dadanya yang naik turun berusaha meredakan tangis yang semakin menjadi.

Rasanya hampir membuat Jimin gila.

Ingin Jimin berteriak menyalurkan rasa sakitnya, tetapi dirinya takut membangunkan sebagian pembantu rumahnya. Membuat posisinya ketahuan dan berakhir menerima hukuman dari ayahnya.

Jadinya Jimin hanya tergugu, menyandarkan dirinya pada pohon dibelakangnya.

Jimin menatap bayangan didepannya.

Entah dirinya yang salah melihat, atau bayangan itu benar-benar ada. Atau memang benar, Jimin sudah gila. Karena halusinasi bayangan didepannya mendekat dan semakin jelas.

Jimin sampai mengusap kedua matanya untuk melihat jelas bayangan ibunya yang sudah pergi ini memang benar ada didepannya.

Jimin berpikir ini hanyalah mimpi. Tetapi, bau tanah yang bercampur dengan darahnya masih menyeruak. Perih goresan ditelapak tangannya masih terasa. Embun rerumputan dibawahnya benar terasa basah. Bahkan dadanya masih naik turun dengan rasa sesaknya yang masih ada.

Jimin menundukkan kepalanya menyentuh tanah. Bersujud pada bayangan didepannya tatkala ibunya itu mau mengusap kepalanya.

"Ampuni saya, Nyonya! Ampuni saya! Maafkan saya karena telah membuat Anda pergi. Maafkan saya, Nyonya! Tolong jangan ganggu saya!" Ujar Jimin memohon.

Bayangan ibunya itu menatap Jimin sendu. Tangannya yang terulur ingin menyentuh Jimin, putranya (meskipun menjadi putranya hanya sementara), kembali ia tarik. Menyentuh erat dadanya, menahan sesak melihat Jimin yang begitu rapuh seperti ini.

"Jangan ganggu saya yang hina ini, Nyonya! Ampuni saya, Nyonya! Saya memang tidak diharapkan, tolong ampuni saya!" Racau Jimin sembari terisak.

Membuat ibunya turut terisak dalam diam. Dirinya dulu menyesal mengambil keputusan yang ia ambil secara tiba-tiba. Dirinya saat itu tidak bisa berpikir jernih. Dirinya gelap mata saat tidak sengaja bertemu dengan ibu kandung Jimin di pagi hari.

Saat itu, ibu Jimin ingin menyiapkan seragam sekolah Jimin sendiri. Dirinya ingin sesekali memanjakan putranya secara langsung. Tetapi dirinya hanya mematung, saat ada seorang wanita yang berdiri tidak jauh dari tempat tidur Jimin.

Ibu Jimin kalap, segera menarik ibu kandung Jimin keluar dari kamar Jimin tanpa suara.

Setelah menceritakan semua faktanya, ibu Jimin menyusun rencana yang matang lalu pergi selamanya. Bunuh diri ingin menyusul putra aslinya yang turut pergi karena keguguran saat proses melahirkan dulu.

Ibu Jimin menatap prihatin Jimin yang masih menunduk sembari menangis tersedu.

"Jimin-ah.. Bukankah sudah Eomma ingatkan sebelum Eomma pergi? Jika, kamu mengetahui siapa kamu yang sebenarnya, maka kamu harus mencari sesuatu yang Eomma kubur didekat pohon yang kita tanam bersama saat kecil. Kamu ingat, kan?"

Suara halus ibunya menggema. Membuat Jimin bergeming ditengah tangisnya. Jimin masih tidak berani mengangkat kepalanya. Dirinya terlanjur malu bersitatap dengan ibunya.

Ibu yang selama ini ia anggap sebagai ibu kandung. Ibu yang selama ini Jimin anggap sebagai pelita hidup. Tetapi, karena dirinya, ibu itu pergi setelah mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.

Jimin tidak berani dan merasa malu.

Ibu Jimin yang merasa tidak mendapatkan respon apapun dari Jimin, dirinya hanya berlalu pergi. Bayangannya menghilang meninggalkan Jimin yang masih tergugu.

Setelah dirasa hawa disekitarnya berubah. Jimin memberanikan diri mengangkat kepalanya. Melihat keadaan sekitar yang masih sepi dan sunyi.

Beruntunglah taman belakang ini jarang didatangi pembantu rumahnya. Mungkin petugas pembersih taman hanya akan datang sesekali, mengingat penghuni rumahnya yang jarang kesini.

Jimin langsung kelabakan mengusap wajahnya yang semakin kotor dengan tanah dan darahnya.

Jimin menggali tanah disekitar pohon yang ia jadikan sandaran tadi. Menggali sebisa mungkin tanpa ada alat bantuan apapun.

Tampak sebuah kotak kecil berukuran 7 x 3, berwarna coklat, warna favorit ibunya dulu.

Jimin mengambilnya dengan tangan bergetar, matanya memburam karena air matanya.

Ia membukanya dan menemukan dua gulungan kertas biru muda dengan pita hitam dan pita merah yang melingkar di keduanya.

"mengapa warna pitanya berbeda?"
Batin Jimin bertanya-tanya.

Jimin memilih surat dengan pita hitam terlebih dahulu.

Jantungnya semakin berdegup kencang, jantungnya seakan berlomba adu kecepatan dengan dadanya yang naik turun. Air matanya semakin meluruh, tatkala ia membaca kertas dengan pita hitam tersebut.

Jimin tercengang dengan isi dari kertas pita hitam tersebut, Jimin merasakan dunianya hancur seketika dan harapannya meluap begitu saja.








Ketika surat itu berisi—




Gomawo✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang