4

2K 155 12
                                    

Jika kalian berpikir Jimin bebas karena sudah melakukan serangkaian hukuman yang ia terima. Kalian salah besar. Saat ini, Jimin berkutat dengan berkas-berkas yang selama ini Jimin abaikan. Terkurung di dalam kamarnya selepas pulang sekolah.

Banyak kertas berkas yang berceceran, mulai dari atas nakas, lantai, bahkan tempat tidurnya. Jimin menatanya rapi berkas mana yang sudah ia teliti dan kerjakan.

Beruntung Jimin tidak kembali mendapatkan pukulan seperti biasanya. Ayahnya percaya dengan alasan Jimin yang mengatakan jalanan macet saat ia sedikit terlambat pulang dari sekolah tadi. Tetapi balasannya, setumpuk berkas-berkas perusahaan yang harus ia kerjakan.

Walaupun ia tidak dapat menerima pukulan itu. Namun, ia masih tetap terkurung dengan hal-hal yang tidak patut ia urus sesuai dengan usianya.

Bukankah itu menyebalkan?

Mau bagaimanapun Jimin menolak dan berusaha untuk tidak mematuhi semua perintah ayahnya, meskipun dengan berbagai cara, semuanya tidak mempan dan tidak berguna.

Ayahnya gelap mata. Lebih mementingkan perusahaan daripada dirinya. Lebih mementingkan rapat dengan para petingginya daripada mengurusi Jimin yang sakit. Memaksa Jimin untuk mengimbangi semua urusan perusahan. Memaksa Jimin untuk mampu mengelola perusahaan sejak usia dini.

Ayahnya berubah.
Jimin menyadari itu semenjak kelas dua sekolah menengah pertama. Sejak ayahnya banyak menekan dan memerintah ini itu disertai hukuman yang tidak main-main. Jimin sudah menyadarinya.

Bahwa, ayahnya sudah berubah dan tidak akan pernah kembali.

Tes....  Tes...

Jimin terlonjak kaget.
Ia terdiam kaku menatap berkas yang dipegangnya ada bercak darah. Jimin segera meraba bagian bawah hidungnya dan lekas berlari menuju kamar mandi.

Dirinya kelabakan membasuh dan membersihkan mimisannya.

Setelah selesai, Jimin menatap prihatin penampilannya yang cukup berantakan. Rambutnya acak-acakan, baju seragamnya masih belum sempat ia ganti, kantung hitam dibawah matanya terlihat, dan wajahnya yang tampak pucat.

Jimin terkekeh melihat pantulan dirinya di cermin.

Jimin lagi-lagi dikejutkan melihat jarum jam yang menunjukkan pukul empat pagi.

Jimin menatap nanar semua berkas yang ia kerjakan tanpa melihat jam sekalipun. Mulai dari sepulang sekolah hingga dini hari.

Hebat sekali kau, Jimin!  Untuk apa kau tidur, jika sebentar lagi kau akan kembali berangkat ke sekolah?
Ujar Jimin dalam hati.

Mendengar perutnya berbunyi, Jimin berinisiatif turun menuju dapur. Berusaha mencari bahan makanan apa saja yang mudah dibuat. Jimin tidak mungkin sampai hati membangunkan pembantu yang belum bangun meskipun sudah ada yang melakukan tugasnya. Jadi, Jimin ingin membuatnya sendiri ditengah cuaca dingin khas dini hari.

Setelah berkutat dengan bahan makanan dari lemari pendingin dengan suasana dapur yang sunyi dan sepi. Jimin melahap makanan sederhananya dalam diam.

Tap...

Tap...

Tap...


Tiba-tiba terdengar suara yang mencurigakan.

Jimin sontak menghentikan sejenak kegiatannya. Terdiam dan menatap dari kejauhan sumber suara tersebut.

Sepertinya ada seseorang yang mengendap-ngendap di rumahnya. Beruntung posisi Jimin saat ini menguntungkan, karena Jimin sengaja tidak menghidupkan lampu dapur. Sehingga Jimin bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan orang tersebut dengan busana serba hitamnya.

Ketika orang tersebut tiba di ruang tengah, lampunya menyala terang. Membuat posisi orang tersebut terlihat dengan jelas. Mematung sempurna di tengah luasnya ruang utama. Orang itu terkesiap begitu pula dengan Jimin.

Benar. Bukan Jimin yang menghidupkan lampunya sehingga dirinya turut terkejut.

Sejenak, Jimin berpikir mungkin ada beberapa pembantu yang memulai aktivitas pagi dengan menyalakan semua lampu rumah.

"Apa yang kau lakukan disini?!!"

Sebelum suara berat itu menginterupsi. Menggelegar seantero rumah, karena ayahnya berteriak dari lantai atas.

Jimin menelan ludahnya gugup.

Gomawo✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang