Yujin menyadari bahwa anaknya ini sangat keras kepala –sama seperti dirinya. Jinu tidak akan berhenti merengek kalau dia belum mendapatkan apa yang dia inginkan –kecuali dengan alasan yang jelas. Dan sayangnya Jinu itu jenius, dia tidak akan semudah itu lupa pada apa yang dia inginkan. Hal itulah yang terkadang membuat Minju dan Yujim begitu kerepotan.
Akhirnya Yujin berniat mengalah. Dia menatap Minju dengan sedikit canggung.
"Bolehkan?" tanya Yujin pada Minju dengan nada ragu.
.
.
.
Minju terdiam mendengar pertanyaan Yujin yang lebih terdengar sebagai sebuah permintaan ijin untuk memeluknya. Minju terlihat bingung. Dia tidak ingin semudah itu mengangguk setuju pada Yujin.
"Mommy, ayoooo~ cepat. Aku sudah ingin tidur," sekali lagi Jinu merengek.
Minju hanya bisa menghela nafas pelan. Dia menatap Yujin sebentar sebelum akhirnya dia mengatakan, "Hanya karena Jinu yang meminta."
Yujin tersenyum simpul mendengar jawaban Minju. Dia mendekat ke arah Minju dan perlahan merengkuh tubuh yang lebih kecil darinya itu ke dalam sebuah pelukan.
Minju agak terkejut saat Yujin memeluknya. Pelukan itu sangat terkesan canggung. Mereka tidak saling mendekatkan tubuh secara wajar seperti sebuah pelukan yang seharusnya. Mungkin lebih tepat jika apa yang dilakukan Yujin hanya sebatas merangkul kedua bahu Minju dalam sebuah pelukan singkat.
Namun yang membuat Minju terkejut bukanlah pelukan –atau apapun namanya itu- melainkan sebuah kata yang Yujin bisikan padanya saat itu.
"Mianhae," bisik Yujin di telinga Minju sambil mengakhiri pelukan singkatnya.
Minju masih terpaku setelah mendengar kata itu keluar dari bibir Yujin. Sebuah kata 'Maaf' dari Yujin kali ini, secara tersirat memiliki makna majemuk bagi Minju. Terkesan berbeda dengan kata maaf beberapa saat yang lalu.
Namja manis itu baru menyadari bahwa walaupun dengan kata yang sama, jika disampaikan dengan cara yang berbeda dapat membuat kesan yang berbeda pula. Dia mulai mengerti itu dari apa yang Yujin lakukan padanya.
Mereka terdiam sesaat. Menghindar agar tidak saling bertemu pandang. Menunggu sampai kecanggungan di antara mereka mereda. Sampai akhirnya tanpa mereka sadari, Jinu telah tertidur.
.
.
.
.
.
"Aku sudah menyiapkan kamarnya. Kau bisa tidur di kamarku," kata Minju pada Yujin yang kini kembali duduk di sofa depan televisi.
"Lalu dirimu?" tanya Yujin.
"Dimana lagi? Tentu saja di sofa. Kau pikir rumahku ada berapa kamar 'sih?" cibir Minju.
Yujin hanya mengangguk paham. Dia sudah sangat tahu kalau di rumah ini hanya ada dua kamar. Kamar Jinu dengan single bed-nya. Dan kamar Minju dengan ranjang Queen size-nya.
"Kalau begitu aku saja yang tidur disini," ucap Yujin sambil menyaman diri di sofa tersebut.
"Terserah kau saja,"
Minju kembali ke kamarnya. Dia mengambil sebuah selimut dan bantal. Kemudian dia kembali lagi ke tempat Yujin.
"Ini," Minju menaruhnya di meja.
Yujin menatap Minju sesaat. Meski dengan sikap yang terkesan tidak peduli, Minju masih bisa sikap baik pada Yujin.
"Terima kasih," gumam Yujin.

KAMU SEDANG MEMBACA
CHANCE (END)
RomanceAhn Yujin dan Kim Minju yang telah bercerai harus terlihat baik-baik saja di depan putra mereka...