Rambut hitamnya diikat kuda, wajahnya terpoleskan make up tipis berlipstik ringan dengan warna merah bibir, begitupun dengan penampilannya yang selalu terlihat sederhana seperti celana jeans yang wanita itu pakai seperti sekarang dengan kaos panjang berwarna putih sebagai pelengkapnya.
Namanya Amanda Putri, gadis biasa dari keluarga biasa. Ayah dan bundanya bekerja di rumah sahabatnya yang kaya, sebagai tukang masak dan tukang kebun yang setiap hari pulang karena rumah mereka memang tidak terlalu jauh, itupun masih berada di kawasan rumah sahabatnya karena diberikan oleh mereka sebagai hadiah telah mengabdi sejak lama.
Setelah selesai merias diri, Amanda keluar dari rumah lalu menatap ke arah rumah megah di mana sahabatnya tinggal dan orang tuanya bekerja di sana. Dengan membawa tas selempangnya dan dua kotak makanan bekal di pelukannya, Amanda tersenyum tipis penuh bangga.
"Farel pasti sudah berangkat. Aku akan memberikan bekal sarapan ini ke dia nanti, dari pada harus makan di kantin kan?" ujarnya sendiri sembari meyakinkan dirinya sendiri untuk tetap semangat lalu berjalan ke arah halte bus terdekat untuk segera berangkat.
Kalau dulu, Farel akan mengajaknya berangkat bersama saat sekolah. Karena sejak kecil mereka sudah kenal baik dan bersahabat, tapi sejak mereka mulai tumbuh dewasa bersama dan kuliah di tempat yang sama, sikap Farel mulai berubah. Lelaki itu tidak sehangat dulu, nada bicaranya juga terkesan dingin, padahal tidak ada masalah di antara mereka. Namun Amanda tetaplah gadis yang selalu mencintai Farel apa adanya, karena baginya Farel adalah cinta pertamanya dan ia tidak akan mudah melupakan kebaikan Farel dan orang tuanya pada keluarganya begitu saja.
Di dalam bis, seperti biasa yang Amanda lakukan hanya merenung, menatap ke arah luar di balik jendela bis. Matanya yang sedikit sendu kini terlihat kian lesuh kala mengingat sikap Farel yang berubah cukup drastis, padahal Amanda pikir sikapnya selalu sama tapi kenapa sahabatnya itu begitu mudah berubah setelah mereka kuliah. Entahlah, Amanda hanya merasa belum mengerti hingga pada akhirnya hatinya terus merasa penasaran dengan sikap sahabatnya itu, meski Amanda merasa tidak ingin menyerah membuat sahabatnya kembali seperti dulu, namun tetap saja Amanda juga merasa lelah, ada kalanya Amanda merasa ingin menyudahi semuanya meski pada akhirnya hatinya kembali sama tetap mencintai Farel apa adanya.
Di tengah asyiknya merenung, Amanda menghembuskan nafas lelahnya, mencoba menyunggingkan senyum cerianya meski terasa tak mudah. Sampai saat ada seseorang yang duduk di sampingnya, Amanda mencoba tidak memperdulikan hal itu, karena sudah hal biasa dirinya duduk dengan orang asing setiap pagi.
"Aduh, perutku." Suara lelaki terdengar mengeluh, Amanda juga bisa melirik dari ekor matanya bila seseorang yang berada di sampingnya sedikit membungkuk dengan memegangi perutnya.
"Aku telat bangun sampai lupa sarapan." Lelaki itu bergumam lesu, matanya terlihat sendu dengan bibir pucatnya. Rasanya ia sudah tidak mungkin lagi bertahan sampai kampus dan makan di kantin, sangking perihnya perutnya saat ini. Sampai saat pandangannya jatuh pada kotak bekal makanan yang Amanda bawa, matanya seketika berbinar seolah akan mendapatkan emas atau permata.
"Aku minta makanan bekalmu ya." Tanpa mau menunggu lebih lama lagi, lelaki itu seketika mengambil kotak makanan yang berada di pelukan Amanda, membuat gadis itu terkejut dengan bibir menganga.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya tak percaya setelah mendapati satu kotak makanannya sudah dibuka oleh orang asing yang tidak dikenalnya.
"Aku kelaparan, aku juga belum makan sejak tadi malam." Lelaki itu menjawab seadanya tanpa mau menghentikan aksi makannya.
"Aku tidak peduli hal itu. Kenapa kamu mengambil kotak makananku? Itu kan bukan milik kamu." Amanda berteriak marah dan kesal, namun suaranya seolah menghilang di balik kerumunan orang yang juga berada di bis yang sama.
"Aku kan sudah bilang, aku kelaparan." Lelaki itu menelan nasi gorengnya dan menjawab hal itu seolah tak memiliki dosa, membuat Amanda merasa tidak percaya bila di dunia ini ada lelaki tidak punya malu seperti orang yang berada di hadapannya saat ini.
"Aku tidak peduli padamu, yang aku pedulikan itu kotak makananku, kenapa kamu memakan isinya tanpa seizin dariku?" Amanda bertanya geram merasa sangat kesal dengan sikap seenaknya yang lelaki itu lakukan.
"Kamu pelit sekali sih? Kamu kan punya dua, makan saja satunya! Untuk kotak makanan ini sudah menjadi milikku jadi kamu tidak bisa mengambilnya lagi." Amanda mengalihkan tatapannya begitu sebal, merasa percuma mempertahankan kotak makanannya bila isinya saja sudah hampir habis tak bersisa.
"Ini," ujar lelaki itu sembari memberikan kotak kosong itu ke arah Amanda yang bibirnya kembali menganga tak percaya, lalu tatapannya teralih ke arah lelaki menyebalkan yang saat ini sedang menunggu tanggapannya.
"Kenapa kamu memberikannya padaku?" Amanda bertanya tenang dengan berusaha menahan emosinya yang segera ingin diluapkan.
"Bukannya tadi kamu memintanya?"
"Setelah kamu menghabiskan isinya?" tanya Amanda tak percaya.
"Lalu aku harus apa?"
"Setidaknya kamu cuci kotak bekal itu lalu kamu berikan padaku! Kamu kan sudah memakan isinya, setidaknya bersikaplah seolah memiliki sopan santun!" Amanda menekankan kalimat-kalimatnya dengan menatap geram ke arah lelaki berkulit putih dengan rambut yang sedikit gondrong di hadapannya saat ini.
"Kenapa aku harus melakukannya hanya karena aku sudah memakan nasi goreng tidak enak ini?" Lelaki itu bertanya dengan ucapan bohongnya, karena sebenarnya nasi goreng itu cukup enak bahkan sangat enak menurutnya. Namun entah kenapa melihat gadis yang duduk di sampingnya itu mencak-mencak penuh amarah justru terlihat kian lucu di matanya, membuat lelaki itu merasa terhibur dan semakin ingin membuat gadis itu marah.
"Kalau tidak enak, kenapa kamu menghabiskannya?" Amanda bertanya sebal dengan tatapan tajamnya meski di detik berikutnya matanya memejam mencoba mengendalikan emosinya yang tak terkendali hanya karena orang asing yang tidak dikenalnya.
"Terpaksa, kalau bukan karena aku kelaparan, aku juga tidak akan sudih memakannya." Lelaki itu menjawab angkuh seperti biasa meski bibirnya terasa berdenyut ingin menertawakan ekspresi geram Amanda.
"APA KAMU BILANG?" teriaknya kian geram dan itu cukup berhasil membuat lelaki itu meledakkan tawanya.
"Kamu lucu sekali?" ujarnya sembari mengacak-acak rambut Amanda dan itu cukup membuat Amanda menatap tak percaya ke arahnya.
"Anak ini benar-benar menyebalkan," keluh Amanda kesal sembari mengalihkan tatapannya ke arah jendela, mencoba tidak memperdulikan lelaki yang tidak dikenalnya itu.
"Hai, kenapa kamu diam?" Lelaki itu bertanya seolah sedang sengaja ingin kembali mengganggu Amanda. Bahkan jari telunjuknya mencolek pundak Amanda, namun gadis itu tak bergeming dari tempatnya, bibir tipisnya menggerutu sebal, merasa sial telah bertemu lelaki yang duduk di sampingnya saat ini.
"Hai? Ayolah marah! Aku suka saat kamu marah." Lelaki itu terus berbicara sembari berusaha mengganggu Amanda, namun gadis itu masih tak memperdulikannya, meski di dalam hati ia menyumpah serapahi lelaki itu.
"Baiklah kalau kamu masih ingin diam! Aku yang akan berbicara saja, bagaimana?" ujarnya kali ini yang entah dapat pemikiran dari mana, namun yang pasti Amanda sangat tidak menyukainya.
"Kediamanmu berarti setuju. Baiklah, aku akan memulainya dengan namaku saja. Namaku Cio, lelaki tampan ...."
"Ah, sudah sampai." Amanda mendirikan tubuhnya lalu mengetuk kaca jendela di sampingnya.
"Pak minggir ya," teriaknya lalu berlari ke arah pintu keluar tanpa memperdulikan bagaimana lelaki yang memperkenalkannya sebagai Cio itu terperangah, merasa tidak percaya bila dirinya justru tidak diacuhkan oleh gadis yang belum diketahui namanya itu.
"Harga diriku sebagai lelaki tampan tercoreng dengan tidak hormat," gumamnya tak percaya, bahkan dadanya terasa sesak sekarang.
Oke, hal itu mungkin berlebihan untuk sebagain orang, tapi tidak dengan Cio yang sudah terbiasa mendapatkan perhatian, namun gadis yang baru ditemuinya itu justru tak menyukainya, membuat Cio merasa sebal dan semakin merasa penasaran dengan siapa sebenarnya gadis itu.
"Dia kuliah di kampus itu? Berarti aku juga harus kuliah di sana supaya aku bisa mendapatkan bekal makanannya setiap pagi, dengan begitu aku tidak perlu mengeluarkan uang untuk sarapan. Dan yang paling penting, aku bisa mengganggunya." Cio tersenyum setan, merasa cukup puas dengan ide gilanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alencio (END)
RomanceBagi Amanda, Farel adalah sahabat sekaligus cinta pertamanya. Meskipun lelaki itu tidak pernah menganggapnya lebih dari seorang teman, namun Amanda tidak pernah memiliki rasa lelah terlebih lagi menyerah. Ia akan selalu berusaha membuat Farel meliha...