Di jalan, tepatnya di depan rumah sederhana yang tidak terlalu mewah, Alex menghentikan mobilnya di sana. Di sampingnya, Amanda terdiam dengan menatap rumah itu penuh keraguan. Matanya yang menyiratkan kekhawatiran itu menoleh ke arah Alex, mencoba untuk memastikan kembali keputusannya saat ini.
"Apa aku harus langsung membujuknya pulang?" tanyanya tak yakin.
"Untuk sementara ini, kamu rawat saja dia sampai sembuh. Pelan-pelan, kamu beri dia pengertian." Amanda hanya mengangguk ragu, mencoba mengikuti ucapan Alex kali ini.
"Kalau begitu, kita turun sekarang saja." Mendengar ucapan Amanda itu, yang Alex lakukan justru menggeleng pelan, seolah ingin menolak ajakan Amanda.
"Tidak. Kamu turun sendiri saja, aku masih ada urusan yang harus aku lakukan."
"Tapi, nanti aku dan Cio akan berdua di rumah itu." Amanda menunjuk ragu ke arah rumah Cio, seolah takut akan terjadi sesuatu di sana.
"Cio tidak akan kurang ajar padamu, aku yakin itu. Meskipun cara berbicaranya sedikit ngawur ke kamu, tapi dia akan tetap menghargai kamu sebagai wanita yang harus dijaga." Alex menjawab yakin, seolah ingin menjawab keraguan Amanda akan ketakutannya.
"Bukan begitu," sahut Amanda ragu, karena sebenarnya ia hanya merasa takut kalau hatinya justru semakin terasa aneh bila bersama dengan Cio dan hanya berdua saja di rumah itu.
"Tolong bantu aku kali ini saja, Amanda. Aku sangat mengkhawatirkan kondisi Cio, tapi dia tidak mau pulang, kalau terus-terusan seperti ini, dia akan semakin sakit." Amanda sempat terdiam beberapa saat sampai pada akhirnya mengangguk ragu untuk menjawab permintaan Alex.
"Aku akan mencoba membujuknya. Terima kasih sudah mau mengantarkanku. Aku pergi dulu," ujar Amanda sembari membuka pintu mobil Alex, yang hanya diangguki oleh empunya.
Setelah benar-benar turun dari mobil Alex, Amanda hanya bisa terdiam sembari menatap rumah yang berada di hadapannya itu penuh keraguan. Begitupun saat mobil Alex melaju menjauh, yang Amanda lakukan masih sama, terdiam dan memantapkan hati untuk menemui Cio.
Mungkin, Amanda tidak akan gugup dan ragu seperti ini, andai hatinya tak merasa aneh saat bertemu dengan Cio. Amanda tahu, Cio adalah lelaki baik yang selalu ada untuk membantunya kala Farel merendahkannya. Namun hanya karena alasan sepele itu, Amanda justru merasa nyaman dilindungi tanpa bisa mengungkapkannya secara langsung. Karena setiap bertemu dengan Cio, Amanda selalu bersikap ketus, seolah tak menyukai cara Cio menggodanya. Namun jauh dari semua itu, Amanda justru merasa ingin terus bersama Cio.
Seperti saat ini, Amanda merasa sangat mengkhawatirkan kondisi Cio. Lelaki itu selalu bersamanya setiap pagi di bis, tapi baru tadi pagi lelaki itu tidak datang dan menyapanya, membuat Amanda merasa kehilangan entah karena apa.
Dengan perasaan ragu-ragu, Amanda melangkahkan kakinya ke arah rumah yang tadi Alex katakan milik almarhum mamanya Cio. Setelah sampai di depan pintu rumah itu, Amanda mengembuskan nafas gusarnya sembari memantapkan diri agar terus melanjutkan niatnya. Tangan kanannya kini terulur, mengetuk papan kayu itu secara teratur dengan sesekali menyapa seseorang yang berada di dalamnya.
"PERMISI," teriaknya tanpa tahu bagaimana empunya tengah terlelap di dalam kamar, namun langsung terbangun karena teriakan Amanda yang cukup mengganggu.
"Siapa sih manusia laknat yang datang? Apa dia tidak tahu, kalau aku sedang sakit di sini? Aku kan butuh istirahat," keluh Cio kesal, merasa tidak percaya dengan orang yang berada di luar rumahnya itu karena telah mengganggu waktu istirahatnya.
"Astaga, dia terus mengetuk pintu." Cio bergumam lirih setengah sebal setelah menyadari orang yang berada di depan rumahnya itu terus saja mengetuk pintunya tanpa henti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alencio (END)
RomanceBagi Amanda, Farel adalah sahabat sekaligus cinta pertamanya. Meskipun lelaki itu tidak pernah menganggapnya lebih dari seorang teman, namun Amanda tidak pernah memiliki rasa lelah terlebih lagi menyerah. Ia akan selalu berusaha membuat Farel meliha...