Part 20

739 75 5
                                    

Viona merapatkan bibirnya setelah melihat kejadian yang baru dilihatnya. Cio ditampar lagi oleh papanya sendiri, dan semua itu karena dirinya. Viona benar-benar merasa sangat bersalah sekarang, meskipun apa yang dikatakan Cio itu cukup keterlaluan.

"Kak Cio. Kak Cio tidak apa-apa kan?" tanyanya khawatir sembari merengkuh lengan lelaki itu namun langsung ditepis oleh empunya.

"Jangan sentuh aku! Kamu dan Mamamu itu yang menyebabkan Mamaku mati. Mamamu juga yang sudah menghancurkan keluargaku. Kenapa kamu masih tidak mau mengerti? Kamu bodoh atau bagaimana? Padahal kamu tahu apa yang terjadi, tapi kamu bersikap seolah-olah semua tidak salah." Cio menggertak gigi-giginya, merasa tidak habis pikir dengan pemikiran gadis yang berdiri di depannya saat ini.

"Aku tahu semua itu, Kak. Makanya aku menawarkan pernikahan kita, dengan begitu Kak Cio tidak akan melihat orang tua kita menikah kan? Ini tidak akan sesulit seperti apa yang sudah Kak Cio rasakan selama ini." Viona mencari pembelaannya, seolah apa yang diucapkannya adalah hal wajar dan normal untuk pantas dikatakan.

"Viona, dijaga ucapanmu! Kamu dengan Cio tidak boleh menikah," sahut papanya Cio tak suka, yang hanya ditatap datar oleh Cio dan tundukkan oleh Viona.

"Maafkan aku, Om. Aku juga tidak setuju dengan pernikahan kalian, karena aku mencintai Kak Cio. Aku tidak mungkin membiarkan orang yang aku cintai menjadi Kakakku sendiri." Viona menjawab sopan tanpa mau menatap ke arah Papanya Cio.

"Viona," tegurnya geram, namun tak membuat Viona mau mengerti keinginan pria itu.

"Sudah berapa kali aku bilang, Viona, kalau aku tidak mencintaimu sebagai wanita apalagi menyukaimu sebagai seorang adik. Bagiku, kamu cuma gadis kecil yang belum bisa berpikir dewasa. Bagaimana mungkin aku bisa menyukaimu, sedangkan kamu berpikir seolah apa yang sudah Mamamu lakukan pada keluargaku itu patut dilupakan, dan kita bisa menikah tanpa beban masa lalu?" Cio menyahut marah. Cio benar-benar merasa geram dan muak sekarang, meski tubuhnya cukup lemah untuk tetap berada di sana.

"Aku bahkan sangat membencimu. Melihat wajahmu, seperti aku melihat Mamamu yang tidak punya malu itu." Cio melanjutkan ucapannya, membuat Viona terdiam dengan air mata yang hampir jatuh membasahi pipi mulusnya.

"Kak Cio," panggilnya terluka. Sedangkan papanya Cio hanya bisa terdiam, bingung harus berbuat apa untuk menghadapi putranya dan Viona.

"Cukup, Cio! Sudah cukup kamu menghina saya dan anak saya." Mamanya Viona datang menghampiri Cio setelah merasa sudah tak sanggup lagi mendengar penghinaan Cio pada putrinya.

"Saya tahu, apa yang sudah saya lakukan ke Mamamu itu sebuah kesalahan atau mungkin dosa besar. Tapi kamu juga harus tahu satu hal," ujar wanita itu sembari menunjukkan satu telunjuknya pada Cio.

"Hena, hentikan ucapanmu!" Papanya Cio kini menyentak, mencoba menghentikan ucapan wanita itu.

"Saya dan Papamu sudah berhubungan sejak kamu masih sangat kecil. Saya juga tahu bagaimana kelakuan Papamu ke Mamamu itu seperti apa? Tapi saya juga tidak mungkin meninggalkan Papamu begitu saja, karena pada saat itu saya mengandung putrinya. Kamu pasti tahu siapa dia?" Wanita itu menatap ke arah putrinya, yang saat ini tengah terkejut mendengar ucapannya.

Viona dan Cio sama-sama tidak percaya dengan apa yang baru mereka dengar. Mereka adalah saudara kandung meski berbeda ibu, mereka sedarah meski tidak dilahirkan di rahim yang sama.

"Apa?" Cio bertanya tak percaya, mencoba untuk tetap waras meski rasanya semuanya sudah cukup membuatnya gila.

"Mama becanda kan? Aku dan Kak Cio tidak mungkin saudara kan, Ma?" Viona bertanya tak terima. Air matanya tumpah, menangis di hadapan semua orang yang sudah membohonginya selama ini.

Alencio (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang