Melihat ada yang tidak beres, Cio menatap heran ke arah wanita yang belum diketahui namanya itu, karena sebelumnya wanita itu memberontak tak suka saat direngkuh lengannya, namun sekarang wanita itu justru terdiam tanpa ada perlawanan. Dengan ragu-ragu, Cio membungkukkan tubuhnya supaya bisa menatap ke arah wajah Amanda. Namun anehnya, Cio justru melihat Amanda menangis dengan sesekali menghapus air mata di pipi putihnya.
"Kamu kenapa? Terharu ya dengan kalimat-kalimatku?" tebak Cio yang seketika dilirik tak suka oleh Amanda.
"Mimpi," sungutnya kesal dengan menarik lengan Cio dari pundaknya lalu berjalan menjauh dari lelaki itu.
"He, tunggu! Tolong bantu aku ya?" ujarnya sembari mengikuti langkah cepat Amanda.
"Apa? Bantu kamu? Bagaimana mungkin kamu bisa minta bantuan dari orang yang sudah kamu palak makanannya?" Amanda menghentikan langkahnya, merasa tidak percaya dengan tingkah laku Cio yang kian menyebalkan.
"Aku meminta makananmu, supaya kamu juga belajar." Cio menjawab ngawur, yang justru ditatap tak percaya oleh Amanda yang mulai jengah dengan jawaban-jawaban menyebalkannya.
"Belajar untuk apa? Meracunimu?" Amanda menjawab kesal, namun Cio justru tertawa kecil mendengar jawabannya.
"Kamu lucu, tentu saja belajar menjadi istriku." Cio menjawab dengan nada tak habis pikir meski bibirnya tersenyum begitu manis.
"Ha-ha. Lucu," jawab Amanda datar meski bibirnya tertawa tanpa minat.
"Siapa yang lucu? Aku? Kamu bercanda ya? Tentu saja anak-anak kita yang akan lebih lucu dan menggemaskan." Cio menjawab kian ngawur yang lagi-lagi membuat Amanda muak dengan ucapannya.
"Kenapa aku harus mendengarkannya? Dia kan gila." Amanda bergumam tak percaya dengan dirinya sendiri, yang mau-maunya mendengar ucapan Cio yang selalu ngawur dan tak masuk akal. Dengan perasaan tanpa minat, Amanda melangkah pergi, meninggalkan Cio yang sempat berbunga-bunga sendiri dengan pemikiran ngawur di otaknya.
"Hai, kenapa kamu terus meninggalkanku?" tanyanya setelah sadar sembari berlari menyusul langkah Amanda yang kian cepat.
"Karena kamu gila." Amanda menyahut sebal.
"Iya, aku memang tergila-gila padamu." Cio menjawab kian ngawur, membuat Amanda merasa kesal juga dengan tingkah lakunya yang aneh. Meski pada akhirnya yang Amanda lakukan hanya diam, tidak mau repot-repot meladeni Cio terlebih lagi membalas ucapannya.
"He, kenapa kamu diam lagi? Aku kan sedang berbicara denganmu." Cio terus berbicara dan itu cukup membuat Amanda lelah, sampai saat Amanda melihat Farel tengah berjalan bersama dengan teman-temannya kali ini, bahkan mereka berpapasan di jalan yang sama. Mungkin setelah mengantarkan Vanessa, mereka berpisah dan Farel pergi ke teman-temannya.
Farel, sahabat baiknya itu selalu terlihat menawan di antara temannya yang lain. Namun bila mengingat hubungan Farel dengan Vanessa yang begitu mesrah dan serasi, rasanya Amanda dibuat ragu untuk memberikan bekal makanan yang direngkuhnya saat ini.
"Hai, Farel ...." Amanda menyapa lemah, namun lelaki itu justru mengalihkan tatapannya seolah muak melihatnya. Apa yang salah? Dulu hubungan mereka cukup dekat, tapi kenapa sekarang Farel bersikap seolah tidak ingin mengenalnya lagi, membuat Amanda merasa tak nyaman, seolah ada rasa sesak yang kian menyakitinya.
"Cio." Salah satu teman Farel menghentikan langkahnya, lalu menyapa lelaki yang berdiri tepat di belakangnya yaitu Cio.
"Alex. Wuih, kamu juga kuliah di sini?" Lelaki itu menyapa balik dengan nada anehnya, setidaknya itu untuk Amanda dengar.
"Iya. Dan apa yang kamu lakukan di sini?"
"Aku? Tentu saja kuliah." Cio menjawab bangga nan angkuh, meski bibirnya terlihat ingin menggoda dengan alis tebalnya yang sengaja dinaik turunkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alencio (END)
RomantikBagi Amanda, Farel adalah sahabat sekaligus cinta pertamanya. Meskipun lelaki itu tidak pernah menganggapnya lebih dari seorang teman, namun Amanda tidak pernah memiliki rasa lelah terlebih lagi menyerah. Ia akan selalu berusaha membuat Farel meliha...