Tigabelas

1.1K 115 36
                                    

Keduanya tahu ada yang ganjil. Setelah pulang dari rumah sakit, kecanggungan menguasai keduanya, terutama Taeri. Ia masih sangat takut dengan kejadian beberapa waktu lalu di rumah sakit. Bagaimana, bagaimana kalau Suga pergi meninggalkannya, bagaimana jika orang tua kandung Suga mengambilnya. Tidak, Taeri tak akan pernah membiarkan hal itu terjadi.

"Eomma." Suga mulai bersuara setelah setengah jam hanya duduk di sofa, menghadap televisi yang menyala namun ia sama sekali tak tahu apa yang tengah televisi itu pertontonkan. Pikirannya masih berkutat pada hal yang ia alami saat di rumah sakit.

Entah perasaan apa itu, Suga merasa sakit saat mengingat ia yang mendorong wanita itu dengan kasarnya. Tak ia pungkiri, di sela rasa takutnya saat dipeluk wanita itu tadi terselip rasa hangat yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Suga berjengit saat merasa bahunya ditepuk pelan. Pemandangan yang ia lihat saat menoleh adalah wajah sang ibu yang entah mengapa nampak cemas meski senyum tersungging apik di wajahnya.

"Ada apa? Apa masih lemas? Tak usah ke kampus saja ya, wajahmu pucat." Suga tak sadar jika tadi ia yang memanggil sang ibu, entah bagaimana kata itu keluar begitu saja dari bilah bibirnya.

Suga ingin sekali menceritakan hal yang ia alami tadi, tapi keraguan perlahan menghampirinya. Tidak biasanya ia seperti ini, menyembunyikan sesuatu dari sang ibu? Bukan gaya Suga sekali. Pun dengan Taeri, ia enggan bertanya. Ia tahu apa yang membuat puteranya tiba-tiba menjadi pendiam seperti itu. Tapi, Taeri tak ingin jika ia membahas hal itu. Ia akan mengubur dalam-dalam tentang masa lalunya. Tak ingin sedikit saja ada celah yang bisa membuat putranya pergi meninggalkannya.

"Eomma, tadi ada seorang ahjumma yang memelukku." Tidak, Taeri mohon untuk jangan memulainya.

"Dan dia memanggilku Yoon--  emm ... Yoonji, ahh Yoonjae, ahjumma itu memanggilku Yoonjae." Taeri semakin merapatkan diri, menghapus jarak sedekat mungkin hingga kini tangannya terulur untuk merengkuh tubuh sang putra.

"Mungkin dia salah orang. Kau juga pernah bilang kalau ada yang memanggilmu Yoongi." Taeri menjawab setenang mungkin, tak ingin ketakutannya terlihat hingga bisa menimbulkan curiga bagi Suga.

"Tapi Eomma, aku merasakan ada yang aneh. Rasanya sesak sekali saat melihatnya menangis, aku juga mendorongnya. Aku jahat ya, Eomma? " Suga mengusalkan wajahnya pada ceruk leher sang ibu, membalas pelukan Taeri tak kalah erat. Ia merasa berdosa sudah berlaku kasar pada seorang wanita.

"Ssstt ... sudah, bukan salahmu. Mungkin benar dia salah orang, mungkin sedang rindu anaknya yang lama tak bertemu. Makanya, kau jangan sekali-kali meninggalkan Eomma,  mungkin Eomma juga akan seperti itu jika kau pergi." Suga mendongak, mengernyit saat melihat setetes bulir bening meluncur jatuh dari sudut netra satu-satunya wanita yang ia cintai itu.

"Eomma, kenapa menangis?" Suga menegakkan badan untuk kemudian menangkup kedua sisi wajah sang ibu, mengusap lembut jejak air mata itu dengan kedua ibu jarinya.

Taeri tersenyum setelahnya, mengusap sendiri air matanya dengan punggung tangannya dan kemudian kembali membawa tubuh Suga untuk ia peluk.

"Jangan tinggalkan Eomma, Eomma sangat menyayangimu."

"Eomm--" Suga sebenarnya tak paham situasi, ia tak mengerti apa maksud perkataan sang ibu.

"Berjanjilah." Mata indah dengan kilatan bening itu menatap tepat pada manik kucing Suga, membuatnya bisa merasakan betapa seriusnya ucapan yang baru saja ibunya lontarkan.

"Huum, aku janji."





























....











[ END ] BEGIN  ~Sequel Of Just Minute~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang