VIII.

1.4K 164 13
                                    

Malam yang seharusnya indah sedikit ternodai oleh Ana yang terus melamun. Sejak beberapa saat lalu, wanita itu terus memperhatikan ke luar jendela, entah menatap gedung pencakar langit yang betebaran di setiap penjuru kota atau menikmati pemandangan lampu-lampu dari kendaraan yang bergerak di bawah sana. Mingyu sedikit kesal sebab Ana mengabaikan keberadaannya, tetapi dia juga paham jika suasana hati Ana sedang tidak baik.

Mingyu bisa tahu Ana sedang tidak baik-baik saja sebab wanita itu secara tiba-tiba mengajaknya untuk pergi keluar di malam hari. Hal itu bukanlah hal biasa, mengingat Ana cukup sulit untuk diajak jalan-jalan saat keduanya tidak sengaja bertemu di Sungai Han. Hari ini, justru Ana sendiri yang menawarkan terlebih dulu untuk pergi makan malam berdua dan saat ini mereka berada di salah satu restoran di dekat Namsan Tower.

"Ana."

Mingyu mencoba memanggil Ana yang terlihat begitu asyik melamun sembari menopang dagu. Namun, tidak ada tanggapan dari wanita itu.

"Ana!" panggil Mingyu lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya.

Ana terkesiap karena terkejut oleh suara keras Mingyu dan dengan cepat mengalihkan atensi kepada pria itu. "Iya, kenapa?"

"Aku yang harusnya bertanya. Kau kenapa?"

Kedua alis Ana kontan bertaut. "Aku tidak apa-apa," jawabnya seraya menggeleng pelan.

"Ragamu di sini, tetapi pikiranmu tidak di sini."

Ana menghela napas panjang. Mingyu selalu tahu apa yang sedang dia rasakan. "Aku tidak apa-apa. Itu hanya perasaanmu saja."

"Kau merindukan Jaehyun."

Ana mendengar ucapan Mingyu dengan jelas dan tubuhnya seketika menegang. Pria itu layaknya cenayang yang tahu segala hal tentangnya meski Ana tidak mengatakan apa pun. Atau mungkin gerak-geriknya memang menunjukkan jika dia merindukan Jaehyun?

Ucapan Mingyu memang ada benarnya, Ana merindukan Jaehyun. Sejak pria itu meninggalkannya di Sungai Han tempo hari, hingga saat ini tidak ada kabar sama sekali darinya. Jaehyun seolah hilang ditelan bumi. Terhitung sudah hampir dua minggu mereka tidak bertemu dan selama itu pula Ana memendam rindu.

"Sepertinya belum terlalu malam untuk ke Namsan Tower. Bagaimana kalau kita ke sana?"

Mingyu menarik napas lelah karena Ana dengan sengaja mengalihkan pembicaraan. "Ayo," balas Mingyu kemudian.

Keduanya bergegas menuju Namsan Tower dengan berjalan kaki sebab jaraknya tidak terlalu jauh. Selama perjalanan, tidak ada satu pun di antara mereka yang membuka percakapan. Ana jelas sedang tidak ingin bicara sebab pikirannya kalut, sedangkan Mingyu cukup tahu diri untuk tidak membuat suasana hati Ana makin rusak.

Saat tiba di Namsan Tower pun Ana masih diam. Wanita itu kembali melamun dan Mingyu dibuat kesal olehnya sebab setiap dia mengajak bicara tidak ditanggapi sama sekali.

"Lebih baik kita pulang saja daripada kau melamun terus seperti itu," ucap Mingyu sinis disertai intonasi yang sedikit tinggi. Dia benar-benar lelah terus diabaikan oleh Ana.

"Aku tidak melamun. Aku hanya sedang menikmati pemandangan," sanggah Ana cepat.

"Pandanganmu kosong, jelas-jelas kau sedang melamun. Sejak tadi kau tidak memperhatikan ucapanku."

"Aku memperhatikan Oppa." Lagi, Ana menyanggah ucapan Mingyu. Wanita itu mengubah posisi jadi menghadap pria itu sembari menunjukkan senyum tipis.

"Apa yang tadi aku ucapkan?" tanya Mingyu seraya menyilangkan tangan di depan dada.

Kedua sudut bibir Ana makin melengkung ke atas dan bibirnya terbuka, menunjukkan cengiran polos. Dia memang tidak tahu apa yang Mingyu katakan tadi. Maka dari itu, dia segera mengeluarkan jurus andalan, senyum tidak berdosa, untuk menutupi kebohongannya. Namun, tidak berselang lama, senyum Ana perlahan luntur saat menyadari Mingyu menatapnya dengan tajam. Selama mengenal Mingyu, baru kali Ana melihat tatapan menyeramkan pria itu.

Unspoken TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang