XXII

1.4K 143 47
                                    

Setelah seminggu pulang ke Indonesia, tidak ada perubahan signifikan dalam hidup Ana. Wanita itu hanya menjalani hari dengan mengurung diri di kamar dan meratapi nasibnya yang sangat memilukan. Berada satu atap dengan ayahnya membuat wanita itu tidak memiliki keberanian untuk keluar kamar selama ayahnya ada di rumah. Rasa malu dan takut berhadapan dengan Ibra membuat nyali Ana menciut dan tidak berani menampakkan wajah di hadapan ayahnya.

Akan tetapi, Ana sadar tidak selamanya bisa seperti itu. Hal yang terjadi hari ini memang kesalahan Ana dan sudah sangat sepantasnya dia menanggung akibatnya. Namun, bukankah setiap kesalahan pantas untuk mendapat maaf? Wanita itu yakin jika seorang ayah akan memaafkan kesalahan anaknya meski butuh waktu lama sampai akhirnya Ibra mau menerima kembali keberadaan Ana.

Usai salat subuh, Ana segera menuju dapur dan mulai berkutat dengan benda-benda yang dulu sangat dia hindari. Perlahan namun pasti, wanita itu akan memulai usaha agar Ibra mau memaafkannya. Langkah pertama yang Ana lakukan adalah membuat sarapan sebelum ayahnya berangkat kerja. Meski kemampuan memasaknya masih belum terlalu baik, setidaknya Ana mau menunjukkan usahanya.

"Mbak, lagi ngapain?"

Suara Maya mengalihkan atensi Ana dari bawang yang sedang dikupas. Wanita itu menoleh dan tersenyum kepada ibunya yang tampak heran melihatnya memegang pisau dan bumbu dapur. "Mau bikin sarapan. Aku bikinin nasi goreng, ya."

Kedua alis Maya kontan bertaut. Wanita paruh baya itu bingung melihat anaknya yang tiba-tiba ingin memasak, padahal dulu tidak pernah mau membantunya memasak di dapur.

"Emang Mbak bisa masak?" tanya Maya bingung.

"Bisa dikit-dikit. Ini masih belajar," jawab Ana seraya kembali melanjutkan kegiatannya.

Maya memperhatikan anaknya dengan perasaan sedih dan terharu. Ana terlihat lebih bahagia, sangat jauh berbeda seperti hari-hari sebelumnya yang selalu murung dan menunjukkan wajah sedih. Maya juga melihat perubahan pada diri Ana yang sekarang mau memasak. Biasanya, hal yang identik dengan dapur selalu dihindari oleh anaknya, tetapi pagi ini justru tampak bersemangat menyiapkan sarapan. Ternyata, tinggal jauh dengan orang tua membuat Ana berubah menjadi anak yang lebih mandiri.

"Masih pagi udah ngelamun aja."

Maya sedikit tersentak karena suara Ana membuyarkan lamunannya. Wanita itu kemudian menghampiri anaknya dan berdiri di samping Ana yang sedang mengulek bumbu. Lagi, wanita itu heran dan takjub melihat perubahan pada anaknya.

"Sini ibu bantuin," tawar Maya sembari hendak mengambil alih ulekan dari tangan Ana, tetapi ditepis oleh anaknya.

"Nggak usah. Aku bisa kalau cuma masak nasi goreng. Bahan-bahan yang lain udah siap, tinggal dimasak aja."

Maya memperhatikan beberapa bahan yang sudah tersedia di dekat kompor. Memang semua bahan untuk memasak nasi goreng sudah siap dan hanya tinggal dimasukkan ke dalam penggorengan. "Beneran nggak usah dibantuin?"

"Beneran. Nggak lama lagi juga beres."

"Ya udah, ibu mau nyapu aja," tutur Maya seraya berlalu meninggalkan Ana.

Ana memasak dengan begitu semangat sebab sekarang merupakan pertama kalinya memasak untuk kedua orang tuanya. Wanita itu begitu hati-hati dalam memasak agar tidak ada kesalahan dan berulang kali mencicipi nasi goreng yang sedang dimasak agar rasanya pas. Efek menjadi pengangguran ternyata tidak terlalu buruk sebab membuat Ana menemukan bakat yang sebenarnya lumrah dimiliki oleh wanita, yaitu memasak. Setelah dipecat dari pekerjaan, wanita itu jadi rajin belajar memasak dan hasilnya terlihat hari ini, dia bisa memasakkan makanan untuk Maya dan Ibra meski sangat sederhana.

Usai masakannya matang, Ana menata beberapa piring di atas meja makan, tidak lupa menyiapkan kopi untuk ayahnya, minuman yang wajib ada sebelum pria itu berangkat bekerja. Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah tujuh, itu artinya Ibra sebentar lagi akan menuju meja makan.

Unspoken TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang