XXV.

1.6K 132 25
                                    

Suasana ruangan yang begitu sunyi membuat Ana bingung. Bola matanya bergerak-gerak, memperhatikan ruangan yang terasa begitu asing setelah tidur cukup lama. Butuh waktu beberapa saat baginya sampai akhirnya sadar sedang berada di rumah sakit.

Hal pertama yang Ana rasakan saat bangun adalah tubuh yang kaku. Kedua tangannya tidak bisa digerakkan sebab terasa begitu berat. Entah berapa lama dia tertidur sampai akhirnya otot tubuhnya melemah seperti itu.

Suara derit pintu membuat kepala Ana sedikit bergerak dan dia mendapati Maya baru saja memasuki ruangan sembari menunduk memperhatikan ponsel. Ibunya belum sadar jika Ana sudah bangun. Wanita itu kemudian berusaha memanggil ibunya yang berdiri di ambang pintu, tetapi suaranya tidak keluar.

"Bu."

Akhirnya, Ana bisa mengeluarkan suara, tetapi sangat pelan. Beruntung, Maya bisa mendengar dan wanita itu mendongak, lalu kedua irisnya membola saat menyadari anaknya sudah sadar.

"Mbak udah sadar?" tanya Maya seraya berlari menghampiri Ana. wanita itu segera memencet tombol di dekat ranjang untuk memanggil perawat.

"Aku kenapa?" tanya Ana dengan suara lemah.

"Mbak koma setelah melahirkan."

Kedua mata Ana melebar dan kepanikan seketika terlihat di wajahnya. "Anakku. Gimana sama anakku?"

"Tenang, Mbak. Mereka baik-baik aja," tutur Maya seraya mengusap lengan Ana. "Anak Mbak dua-duanya cowok."

Suara derit pintu dibuka membuat percakapan ibu dan anak itu berhenti. Seorang dokter dan beberapa perawat baru saja memasuki kamar rawat Ana dan mereka segera melakukan pemeriksaan. Setelah mengalami koma selama lima hari, kondisi Ana cukup lemah, tetapi secara keseluruhan baik-baik saja. Dokter hanya menyarankan Ana untuk melatih otot tubuhnya yang kaku karena beberapa hari tidak digerakkan. Wanita itu harus mulai menggerakkan kaki dan tangan, lalu belajar duduk.

"Bu, aku mau lihat anak-anak," ujar Ana pelan setelah dokter dan perawat pergi.

"Belum bisa. Anak-anak masih di inkubator, Mbak juga masih lemah. Kata dokter, mereka baru bisa keluar besok kalau keadaan sudah lebih baik. Mending Mbak pulihin kondisi tubuh dulu. Nanti pasti anak-anak dibawa ke sini."

Ana hanya menghela napas panjang. Dia sudah sangat ingin bertemu kedua anaknya, tetapi kondisi tubuhnya benar-benar tidak mendukung. Sekadar bergerak pun tidak bisa.

"Ayah mana?" tanya Ana kemudian.

"Lagi di masjid sama Andra. Sebentar lagi pasti ke sini."

Kening Ana berkerut. "Kak Andra?"

Maya mengangguk pelan. "Selama Mbak koma, Andra selalu nginep di sini. Dia ngerasa bersalah karena Mbak koma setelah ketemu dia."

"Ana!"

Suara panggilan seseorang membuat Ana menoleh. Tampak Andra memasuki kamar rawat, diikuti Ibra di belakangnya. Tatapan Ana seketika tertuju kepada ayahnya dan selama beberapa saat mereka saling berpandangan. Namun, tidak lama kemudian Ibra kembali keluar. Hati Ana langsung mencelos melihat ayahnya kembali pergi tanpa menyapanya. Pria itu seperti tidak peduli dengan keadaannya.

"Kamu udah sadar?"

Atensi Ana beralih kepada Andra yang kini sudah berdiri di samping brankarnya. Wajah pria itu terlihat lega, tetapi terlihat raut penyesalan di wajahnya.

"Maaf, gara-gara aku kamu jadi kayak gini," imbuh Andra.

"Bukan salah Kakak. Nggak perlu merasa bersalah kayak gitu," tutur Ana dengan suara pelan. Akibat bicara cukup panjang, Ana merasa lelah. Dia kemudian meminta untuk tidak ada yang mengajaknya kembali mengobrol.

Unspoken TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang