XIX.

1.4K 150 47
                                    

Suara ketukan pintu mengalihkan atensi Mingyu dari kertas-kertas yang sedang dipegang. Kedua irisnya memperhatikan pintu yang secara perlahan terbuka dan menampakkan sekretarisnya yang sedang berjalan ke arahnya.

"Tuan, ada titipan dari resepsionis," ujar sekretaris Mingyu seraya meletakkan sebuah amplop di atas meja.

"Apa?" tanya Mingyu, lalu kembali memperhatikan kertas yang sedang dipegang.

"Sebuah surat. Kata resepsionis dari teman Ana dan sudah ada sejak beberapa hari lalu."

Mingyu mengangguk sekilas. "Kau boleh keluar."

Sekretaris Mingyu segera keluar dari ruangan dan pria itu kembali berkutat dengan banyaknya laporan yang harus dia pelajari. Selama seminggu berada di luar negeri membuat pekerjaan di Korea sedikit terbengkalai dan dia harus segera menyelesaikannya agar tidak makin menumpuk. Kebiasaannya saat sedang sibuk adalah lupa jam istirahat dan selalu melewatkan makan siang. Seperti sekarang, pria itu baru sadar jam sudah menunjukkan hampir pukul tiga karena perutnya terasa sedikit perih.

Mingyu menghela napas panjang seraya menyandarkan punggung di sandaran kursi setelah meletakkan gagang telepon. Dia baru saja menyuruh sekretarisnya memesan makanan. Meski terlambat, setidaknya dia tetap makan. Kedua iris Mingyu kemudian mendapati sebuah amplop yang tadi dibawa oleh sekretarisnya, lalu segera meraihnya dan mengeluarkan isinya.

Oppa, kau sudah pulang dari Singapura, kan? Pasti pekerjaanmu di kantor menumpuk dan kau pasti lupa makan siang. Tolong, hilangkan kebiasaan burukmu itu agar penyakit mag-mu tidak memburuk.

Aku mengirim surat ini untukmu sebagai ucapan perpisahan. Aku harus pergi, Oppa. Aku tidak bisa tinggal di sini lagi. Maaf, aku pergi dengan cara seperti ini. Aku sengaja pergi sebelum kau pulang. Karena kalau pamit secara langsung, pasti kau akan mencegahku untuk pergi. Terlalu banyak rasa sakit yang aku terima di sini. Sekarang sudah waktunya bagiku untuk menyembuhkan lukaku.

Terima kasih atas kebaikan Oppa padaku. Aku tidak akan pernah bisa membalas semua kebaikanmu. Maaf, aku membuatmu terluka karena tidak bisa menerima perasaanmu. Oppa sudah aku anggap seperti seorang kakak. Maafkan aku yang egois ini, yang tidak bisa membuka hati untukmu. Aku sangat tidak pantas mendapatkan cinta tulus darimu.

Andai kita bertemu lebih dulu, mungkin aku akan lebih dulu jatuh cinta padamu. Aku pernah mencoba membuka hati, tetapi itu sungguh sulit. Hidupku terlalu rumit dan aku tidak ingin melibatkanmu dalam masalahku.

Tolong jangan pernah mencariku lagi. Aku akan mencoba menemukan kebahagiaanku, begitu pun denganmu. Seandainya suatu saat nanti kita bertemu lagi, aku harap kau sudah menemukan kebahagiaanmu. Carilah wanita di luar sana yang jauh lebih baik dariku.

Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga kau selalu diberi kebahagiaan. Selamat tinggal, Oppa.

Queen Anastasia

Sepanjang membaca surat dari Ana, kedua mata Mingyu melebar sebab tidak percaya dengan yang dia baca. Dia tidak menyangka jika Ana memilih untuk pergi. Namun, kenapa harus dengan cara seperti ini? Kenapa wanita itu harus pergi di saat Mingyu sedang jauh dari Korea?

"Seandainya kau ingat, aku jauh lebih dulu bertemu denganmu sebelum kau bertemu Jaehyun," ujar Mingyu pelan disertai rasa sakit hati yang tiba-tiba menghampiri.

5 tahun sebelumnya.

"Nona, Ada yang bisa kubantu?"

Mingyu berjalan mendekati seorang gadis yang sedang duduk sendirian di halte bus dan terlihat kebingungan.

"Ada yang bisa kubantu?" tanya Mingyu sekali lagi.

Gadis itu tampak mengkerut dan sedikit menggeser duduknya agar lebih jauh dengan Mingyu yang tiba-tiba duduk di sampingnya.

Unspoken TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang