XI.

1.4K 154 13
                                    

Hari ini, Ana merasa hal yang tidak biasa pada tubuhnya. Sebelum berangkat ke kantor, dia merasa baik-baik saja, tetapi sekarang justru kepalanya terasa berat dan perutnya mual. Wanita itu tidak bisa fokus bekerja sebab rasa sakit yang menghantam kepalanya begitu hebat. Ana hanya duduk di kursi sembari menumpukan siku di atas meja dan telapak tangannya menopang kepala yang terasa berputar-putar.

Biasanya, Ana akan merasa pusing saat terlambat makan. Beberapa hari terakhir, pola makannya sedikit tidak teratur dan dia lebih banyak makan ramen daripada nasi, terlebih pagi ini dia tidak sempat sarapan karena bangun kesiangan. Ana beranggapan asam lambungnya meningkat. Namun, lagi-lagi hal itu tidak biasa baginya sebab dia tidak pernah sakit hanya karena tidak sarapan.

"Ana, kau kenapa?"

Suara yang sangat Ana kenal memasuki telinganya, tetapi dia tidak menoleh sama sekali. Tangan yang semula menopang kepala, kini digunakan untuk memijat kening, berharap rasa sakitnya berkurang.

"Kau kenapa?" Yeonji kembali bertanya, kali ini seraya menghampiri meja Ana.

Ana berusaha mengangkat kepala yang terasa makin berat. Seketika, kelopak mata Yeonji melebar karena wajah Ana terlihat sangat pucat. "Aku merasa pusing dan mual," jawab Ana dengan suara pelan.

"Astaga, wajahmu pucat sekali. Sepertinya bukan pusing biasa," tutur Yeonji dengan wajah panik sembari memegang kening Ana dan seketika hawa panas terasa di telapak tangannya. "Sebaiknya kau pulang saja."

Ana tidak menanggapi ucapan Yeonji. Dia kembali menopang kepala dengan tangan sambil berusaha menahan rasa mual. Berulang kali matanya memejam dengan erat agar sakit di kepalanya menghilang, tetapi nihil.

"Aku akan meminta izin supaya kau diperbolehkan pulang."

Yeonji bergegas menjauhi Ana tanpa menunggu jawaban darinya. Ana pun tidak berniat menanggapi ucapan rekan kerjanya sebab dia memang mengharapkan untuk pulang. Wanita itu ingin membaringkan tubuh sebab sudah tidak sanggup menahan rasa sakit di kepala yang terasa seperti dihantam benda keras.

Suara gaduh beberapa orang yang menghampiri meja Ana tiba-tiba terdengar. Seorang pria yang merupakan atasan Ana langsung menghampiri dan menanyakan keadaannya. Namun, belum sempat Ana menjawab yang dia rasakan, pria itu dengan cepat menyuruh Ana untuk pulang. Melihat wajah pucat dan tubuhnya yang lemas tidak membuat atasan wanita itu berpikir dua kali untuk mengizinkannya pulang.

Yeonji, satu-satunya orang terdekat Ana di kantor, langsung membereskan barang-barang wanita itu dan bergegas membawanya pulang. Bersama salah satu karyawan lainnya, Yeonji memapah Ana menuju lift hingga ke lobi. Ana tidak bisa berjalan dengan benar karena rasa sakit yang teramat hebat di kepala membuatnya oleng.

"Sebaiknya kita ke rumah sakit terlebih dulu. Kau perlu diperiksa." Yeonji berujar seraya memijat kepala Ana yang disandarkan di bahunya. Keduanya sudah menaiki taksi dan sedang dalam perjalanan menuju apartemen Ana.

"Tidak perlu. Aku ingin segera tiba di apartemen agar bisa berbaring," balas Ana dengan suara lemah disertai rintihan.

Setelah beberapa saat, kedua wanita itu tiba di apartemen Ana dan Yeonji bergegas memapahnya. Yeonji cukup kesulitan membawa Ana menuju unitnya sebab harus memapah wanita itu sendirian.

Setibanya di unit, Ana segera menjatuhkan diri di sofa dan berbaring dengan posisi meringkuk sambil memegang kepala yang makin berat. Rasa mual kembali mendera, membuatnya berulang kali ingin muntah.

"Maaf, aku lancang memasuki dapurmu. Tubuhmu panas sekali, harus dikompres." Yeonji berujar seraya melengos menuju dapur dan membuka beberapa rak kitchen set untuk mencari baskom. Setelah didapat, dia bergegas mengisinya dengan air hangat dan kembali menghampiri Ana yang masih berbaring di sofa.

Unspoken TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang