About Us - Together Johan, I'm Promise

2.9K 288 4
                                    

28 Januari 2003

Juanda membuka pintu rumah barunya dengan lesu dan wajah murung. Dia masih memikirkan Johan. Bayangan adiknya yang menangis sampai mengejar gerbong kereta yang dia duduki masih melayang-layang dalam kepalanya. Juanda menatap rumah yang kini tak ada lagi suara tawa Johan atau pun suara dapur saat bundanya memasak.

Juanda melangkah masuk dengan membawa serta koper beserta tas yang dia bawa dari rumah. Ayahnya menghentikan langkahnya sejenak dan mengajak Juanda duduk disofa yang paling dekat dengan mereka.

"Juan, sulungnya ayah.." yang dipanggil kini tengah menatap ayahnya dengan tatapan sendu. "Ayah tau Juan sedih. Tapi ayah janji tidak akan ada yang berubah. Kita hanya tidak satu rumah. Juan masih bisa ketemu sama adek dan bunda. Ayah minta maaf, untuk kesekian kalinya ayah minta maaf untuk Juan dan Johan putra ayah"

Juanda merasa bahwa kesedihan karena berpisah bukan hanya dirasakan olehnya. Tapi juga ayahnya yang kini menatap Juan dengan mata yang berkaca-kaca. Ayahnya ini tidak pernah menangis, ketika Juan atau Johan sedang sakit sekali pun. Ayahnya adalah sosok yang tegar dan tak pernah tumbang menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.

Kini perannya hancur sebagai seorang suami. Dia tak bisa mempertahankannya lagi. Maka dari itu, Juanda bisa mengerti dan memahami kondisi ayahnya.

Juan kemudian membawa tangan kecilnya untuk merangkul sang ayah. Anak yang masih berusia delapan tahun itu menepuk pelan punggung lelah sang ayah. Juanda juga tak bisa bercakap banyak karena dia hanya anak kecil yang tak sampai pemikirannya untuk menganalisis perpisahan kedua orang tua.

"Habis ini, kita telfon Johan ya ayah"

Sang ayah mengangguk lalu membalas pelukan putra sulungnya.

***

Johan masih menangis dalam rangkulan bundanya. Tangisan anak yang berusia enam tahun itu masih belum bisa menerima kalau dia harus hidup terpisah dari ayah dan kakaknya. Johan menolak bujukan bunda untuk tenang, berhenti menangis, dan lain sebagainya. Sejak pulang dari stasiun Johan tidak bisa untuk sekedar menghentikan laju air matanya.

Sampai pada malam ini, Johan tak kunjung meleram kesedihannya. Bundanya sudah kehabisan akal untuk membuat bungsu keluarga itu berhenti meratapi nasibnya.

"Sayang nanti adek sakit kalau seperti ini. Sudah ya nak. Maafkan bunda sama ayah.."

Johan seolah tuli. Dia tak bisa mendengar apapun. Bocah itu masih merasa terkejut dan tidak percaya bahwa kedua orang tuanya harus hidup terpisah. Johan tidak tau sekarang kakaknya dan ayahnya tinggal dimana. Kalau mau ketemu bagaimana caranya.

"Bundaa..."

"Iya sayang.."

"Capeek.."

Bundanya hanya bisa tertawa, entah gemas atau justru jengkel pada putranya yang masih belia itu.

"Makanya adek berhenti nangisnya ya. Biar ga capek"

"Tapi abang.."

Johan tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena mendengar telfon rumah yang berbunyi. Johan langsung turun dari pangkuan bundanya lalu meraih gagang telfon. Dengan segukan yang masih tersisa, Johan menyapa dipemanggil, "Ha-halo"

Sontak Juan tertawa mendengar suara adiknya. Meski dia tau adiknya usai menangis tapi suara Johan terdengar lucu sekali.

"Johan.."

"A-ab-ba-ng" isakan itu muncul lagi dalam tenggorokannya. Johan masih belum bisa menghentikan tangisnya. 

"Johan, kok masih nangis aja dari tadi. Johan kan sering ditinggal sama abang kalau abang sekolah. Johan nanti jelek kalau nangis terus dek"

"Jo-han ka-ngen a-bang"

Sungguh nafas Johan sudah terdengar sesak karena terisak. Juanda tidak menelfon bukan untuk mendengar kesedihan adiknya, dia tidak mau.

"Johan, anggap aja sekarang abang lagi study tour. Abang janji akan sering nengokin Johan sama bunda"

"Iya, Johan tau. Tapi Johan ngga bisa berhenti nangis bang"

Juanda harus ekstra sabar untuk menenangkan kesedihan adiknya. "Johan, abang sama ayah ngga jauh-jauh. Kita masih bisa ketemu. Masih bisa sama-sama. Semuanya baik-baik aja dek.." Juanda mencoba memberikan keyakinan untuk membuat Johan tidak bersedih lagi.

"Johan, ayah sama bunda lagi sedih. Jadi kita harus kuat demi ayah sama bunda, ya dek?"

Johan menimbang-nimbang kalimat kakaknya. Benarkah demikian? Kalau memang bersedih kan tinggal pulang lagi saja ke rumah dan memeluknya. Begitu kan seharusnya?

"Johan.."

"Iya Bang Juan"

"Johan jaga bunda, Bang Juan jaga ayah. Kita bagi tugas seperti kalau Bang Juan jadi penjahat kamu jadi polisinya. Tugas kamu menangkap abang. Tugas kamu sekarang jagain bunda biar abang ga khawatir. Bang Juan tugasnya jagain ayah biar Johan ga khawatir, gitu ya dek?"

Cukup berat bagi hati Johan mengiyakan tapi kakaknya ini benar tidak ada yang bisa menjaga bundanya sekarang selain dia.

"Johan masih superheronya ayah, bunda, sama Bang Juan kan?"

"Masih. Johan masih superhero kok.."

Juanda menerbitkan senyuman diseberang sana. Berbalik dengan tangan kanannya yang mengepal kuat untuk meremat jemarinya sendiri.

"Bagus. Bang Juan tau kalau Johan selalu bisa diandalkan. Bang Juan tutup dulu, ya. Johan jangan lupa makan dulu. Pastikan bunda juga istirahat dan makan yang baik, ya. Bang Juan sayang sama Johan"

Tak menunggu adiknya menjawab, Juanda sudah menutup panggilan dengan meletakan gagang telfon rumah dengan kekuatan lumayan keras. Kepalanya dia tumpukan pada lipatan tangan. Tak membiarkan ayahnya melihat air mata Juanda untuk kesekian kalinya. *

About Us || Season 1 & 2 Fin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang