About Us - Something Wrong with Me? Are You Sure?

1.7K 208 26
                                    

23 April 2012

Hari pertama Johan di sekolah. Semuanya berjalan dengan semestinya. Seperti biasa Johan adalah murid yang dingin dan tidak berminat untuk memiliki teman. Dia sudah seperti itu sejak perpisahan kedua orang tua mereka. 

Johan akui, sang Ayah memang lebih perhatian dari pada Bunda, tapi bukankah Bunda bersikap seperti itu karena dia harus menjadi orang tua tunggal untuk anaknya? 

Bunda juga pasti melewati waktu-waktu yang teramat sulit, sangat wajar jika dia membutuhkan seorang pendamping dan memutuskan untuk menikah. Ah.. Johan jadi merasa kehadirannya tidak diharapkan. 

"Dek!" panggil Juanda lalu duduk dengan senang hati disamping Johan, dibawa pohon besar yang teramat sejuk. Juanda langsung menutup buku Johan dan juga melepas kedua earphone di telinganya. "Abang manggil kamu" kata Juanda sambil mengusak puncak kepada Johan. 

"Maaf Bang, lagi serius tadi" jawab Johan seadanya. 

"Kamu mikir apa?"

Darah...

Johan menggeleng singkat. Juanda hanya akan menyadarinya jika dia memperhatikan dengan benar. Johan tidak menjawab dan hanya diam menatap Juanda. 

"Abang takut lihat kamu kayak gini" 

"Abang takut?" tanya Johan setelah memiringkan kepalanya. 

"Eum.. " jawab Juanda singkat dengan mengangguk dalam. "Abang takut kalau Johan masih berfikir tentang ini" Jawab Juanda sambil membalik kedua lengan Johan. Juanda dan Johan menatap luka-luka itu untuk beberapa saat dan setelahnya, Juanda yang pertama kali mengangkat kepala dan mengakhiri kesunyian, "Johan tidak akan melakukannya lagi 'kan?" tanya Juanda dengan nada suara memohon. 

Johan mengangkat kelopak matanya untuk melihat raut sendu si abang. "Johan.. Johan hanya merasa ini yang bisa membantu Johan, Bang" jawab Johan. Dia jujur, Juanda tidak boleh menyalahkannya. 

Juanda membawa Johan untuk direngkuhnya. Johan merasakan kenyamanan dari seorang kakak yang sesungguhnya menenangkan hati. Johan juga tau Juanda adalah seseorang yang paling mengerti dirinya dan juga seseorang yang menyayangi dia sepenuh hati. Tapi Johan tidak ingin membuat Juanda ikut menanggung bebannya. Perpisahan kedua orang tua mereka sudah sangat menyakitkan. Johan akan membuat Juanda lebih sakit lagi dengan terus bergantung padanya. 

***

Johan melihat ribuan bintang di langit malam. Mereka tampak indah dalam penglihatannya. Johan kagum pada kebesaran alam yang tengah dia lihat kini. 

Kedua netranya beralih perlahan pada cutter  yang telah ada dalam genggaman. Johan memainkannya, memperhatikan benda itu dengan tatapan penuh arti. Ibu jarinya ia gunakan untuk memperlihatkan bagian yang paling tajam dari cutter miliknya itu. 

Malam ini, terjadi pertengkaran antara dia dan juga ayahnya, termasuk dengan Juanda. 

"AKU TIDAK GILA, AYAH!!" 

"BUKAN SEPERTI ITU, JOHAN. KAU SULIT SEKALI MENGERTI MAKSUD AYAH. INI DEMI DIRIMU!" 

Johan tersenyum miring sesaat saat mengingat itu semua. Demi Johan, katanya. Sampai harus membawa Dokter Kejiwaan ke rumah dan juga memperlakukan Johan seakan dia adalah pasien rumah sakit jiwa. Johan masih waras, dia bahkan bisa menjamin saat ini kewarasannya sedang dalam tingkat seribu persen. 

"SEKALI LAGI, JOHAN. MENGERTILAH KEDUA ORANG TUAMU!" 

Apa harus seperti itu terus? Johan juga butuh pengertian. Dia juga punya batas kesabaran. Sebagai seorang anak dia juga ingin didengarkan. Johan menatap sekali lagi pada cutter yang masih dia genggam erat. 

"Sungguh, Johan. Abang mohon.. Abang tau Johan tidak gila. Tapi Abang juga ingin kau berhenti menyakiti dirimu sendiri" 

"Abang tidak pernah mengerti" lirih Johan. "Ternyata memang hanya dirimu yang tidak pernah berbohong padaku" sambung Johan yang sudah mengarahkan bagian tertajam dari cutter itu pada salah satu lengannya. 

Kedua netra Johan melihat luka-lukanya yang lain, masih merah bahkan masih ada yang mengeluarkan darah, ada yang masih dalam dan ada yang sudah sembuh. Senyuman Johan melengkung, Johan perlahan mengiris kulitnya, perlahan namun dalam. 

Seketika darah merembes dari sana. Yang lucu adalah Johan sama sekali tidak merasakan perih atau pun sakit. Dia justru merasa semua fikiran yang berkecamuk dan emosi dalam hatinya membaik saat melihat darahnya sendiri keluar dari dalam tubuhnya. 

Johan memperdalam goresannya, kedua bibir Johan terbuka untuk tersenyum penuh arti, benar-benar hanya ini yang bisa membuat perasaannya membaik. 

Ponsel Johan yang ada disampingnya berdering. Johan mendapat panggilan dari bunda di tengah malam yang sangat penuh dengan ribuan bintang ini. Johan menekan tombol diterima pada panggilan tersebut dan menggunakan earphone yang masih tersambung dengan ponselnya untuk mendengar suara sang bunda. 

"Johan, kamu belum istirahat, Nak?" tanya Bunda dengan nada cemas dan sepertinya juga khawatir. 

"Aku sedang melihat bintang, Bunda. Mereka indah sekali" goresan Johan berhenti, kepalanya dia angkat untuk melihat lagi ribuan benda langit yang seperti tengah meneranginya itu. 

"Johan baik-baik saja?" tanya Bundanya sekali lagi. Johan senang mendengar nada bicara Bunda yang seperti itu. Lembut dan menanangkan, sekaligus juga membuat Johan merindukannya. 

"Aku rindu Bunda, Johan ingin Bunda disini bersamaku" ujar Johan dengan suara gemetar, gengamannya pada cutter  yang masih bisa menggoresnya juga ikut gemetar. 

"Bunda juga sangat merindukan, Johan" suara bunda juga sangat bergetar diseberang sana. Johan bisa memastikan ibunya pasti telah menangis sekarang. "Bunda pasti sudah menyakiti, Johan. Bunda mohon, jangan diulangi lagi tindakanmu yang menyakiti dirimu sendiri itu ya, Nak. Bunda mohon.." 

Johan menurunkan pandangan pada cutter dan juga lukanya yang paling baru dan mengeluarkan darah, Johan menatapnya dalam. Johan, tidak tau lagi..

"Ikuti apa kata Ayah, Johan. Sekarang Ayah yang sudah berhak atas dirimu. Bunda sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi karena Johan melakukan itu semua" 

Awalnya hanya genggaman Johan pada pegangan cutter yang mengerat tapi selanjutnya, Johan tidak bisa menahan diri lagi, Johan langsung memperdalam goresannya saat mendengar sang Bunda mengatakan, "Bunda tidak menyalahkanmu karena menolak pernikahan Bunda dan Tuan Yoga, tapi Bunda mohon jangan membuat Bunda seakan tidak becus menjagamu, Nak. Bunda juga tidak ingin kau melakukan tindakan gila itu" 

Rahang Johan makin mengeras dengan semua otot wajahnya yang kaku. 

"Bunda tau kau sangat terluka. Tapi tolong fikirkan kembali keputusan Johan. Ayah hanya ingin yang terbaik untuk Johan. Lagipula Dokter yang menanganimu nanti adalah rekan kerja Tuan Yoga dulu sehingga Ayah dan Bunda akan selalu bisa memantau perkembanganmu, hm?"

Sekali lagi, Johan sangat ingin mengatakan pada semua orang yang ada di dunia ini bahwa DIA TIDAK GILA!

"Bunda sayang sama Johan" kata Bunda lalu menutup panggilan itu tanpa memberikan kesempatan untuk Johan membalas atau mengucapkan meski hanya 'selamat malam' untuknya. 

"Hehe.. Hehehe! A-Akh..Hahahaha.. hhh.. Hehehahaha!" 

Johan sedang tertawa.

Tapi juga menangis disaat yang bersamaan.

Johan kini sangat mengerti bahwa hidupnya benar-benar menyedihkan. Dia menertawakan dirinya sendiri, dia menangisi dirinya sendiri. Johan kasihan namun juga merasa lucu pada takdirnya. 

"Bunda sayang aku,hm? Bunda sayang aku? Hahhahah" 

Johan terus seperti ini sambil tetap menggoreskan cutter pada lengan kirinya. Karena Johan merasa kurang, kini dia beralih pada lengan kanannya. Johan memperlakukan lengan itu sama. Johan ingin mengeluarkan darahnya sampai dia benar-benar merasa tenang dan kembali membaik. []

About Us || Season 1 & 2 Fin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang