About Us - Bunda, You Are...

1.6K 195 19
                                    

23 Mei 2012

Sebuah senja dengan langit kemerahan yang indah ini tidak menjadi mungkin bagi Juanda untuk merasakan kehangatan mentari sore yang begitu menenangkan.

Kondisi Johan membaik. Tapi anak itu belum bisa kembali ke rumah karena luka di tangannya belum membaik. Cukup dalam dan sangat membahayakan jika dia pulang ke rumah dengan kondisi seperti itu.

Juanda saat ini sedang masuk ke kamar Johan dan mengecek barang-barang adiknya disana sekalian ingin membawakan Johan beberapa pakaian atau kebutuhan lainnya.

Yang Juanda temukan pertama kali adalah cutter dengan bekas darah yang mulai berkarat.

Tangan Juanda gemetar memegang benda mengerikan itu. Aneh. Dia sudah meminta semua barang-barang semacam ini dari Johan tapi masih ada yang adiknya sembunyikan.

Apa yang sebenarnya Johan cari dari kemapuan melukai dirinya itu?

Belum berakhir.

Juanda nekat untuk membuka lemari dan semua ruang di kamar Johan sampai pada laci meja paling bawah, Juanda menemukan setumpuk botol obat yang masih ada sisanya meski beberapa butir.

Juanda gemetaran melihatnya. Dia tidak sanggup mengambilnya. Segera Juanda tutup laci tersebut dan merapikan kamar Johan yang sudah dia acak-acak.

Tangisnya perlahan terdengar keras namun Juanda berusaha menghentikan isakannya. Hatinya yang sakit dan fikirannya yang terlalu bingung membuat Juanda tidak bisa berfikir.

Sudah, bagi Juanda yang dia temukan di kamar Johan hari ini adalah tamparan keras untuknya.

Ketika tangisnya belum berhenti, Juanda mendapatkan panggilan dari Kenan. Segera Juanda mengusap kasar wajahnya dan menghela nafas sebentar sebelum menjawab panggilan tersebut.

"Ken"

"Boleh aku ke rumah sakit nanti? Aku akan mengajak adikku juga untuk ketemu sama Johan"

Juanda sedikit mengulum senyuman, "terima kasih atas bantuanmu, Ken. Aku berhutang banyak selama ini"

"Iya, kau bisa mengepel rumahku untuk membalasnya nanti. Sudah dulu, ya. Ketemu nanti sore. Bye Juan!"

Juanda hanya berdehem dan menutup panggilan tersebut. Hanya berselanh satu detik saja dari panggilan Kenan, ponselnya kembalu berdering dengan panggilan dari Ayahnya.

"Ayah"

"Juan! Cepat ke rumah sakit, Nak. Adikmu berniat bunuh diri"

"A-yah.."

"Jika Juan bisa datang secepat mungkin maka Ayah mohon lakukan itu sekarang, Nak!"

Tentu Juanda tidak akan memgabaikan peringatan seperti ini. Meski dia sedang diselimuti ketakutan, fikirannya tetap harus berjalan. Juanda mencoba tenang dan mencoba untuk tidak terbawa emosi.

Juanda kembali ke kamarnya untuk mengambil jaket dan juga kunci sepeda motor lalu bergegas menuju rumah sakit seperti yang Ayahnya perintahkan.

***

Before

Sementara itu, Johan yang meminta Bunda untuk membawanya pergi jalan-jalan sementara Ayah sedang konsultasi dengan Dokter Ahli Kejiwaan yang direkomendasikam oleh mantan istrinya.

Kenapa harus dokter itu!

Jangan egois mas ini untuk Johan!

Kamu..! Apa kamu kira Johan akan sembuh kalau tau dia temannya calom suamimu?

Coba mas fikir dulu. Kenapa mas susah sekali dibujuk!

Ini untuk Johan! Tentu aku harus keras!

Biasa. Semua itu sudah biasa Johan dengar. Sebelum semuanya membuat Johan makin tidak bisa berfikir, Bunda memutuskan untuk membawa Johan mencari udara segar agar fikirannya juga tenang.

Bunda duduk di kursi tunggu sementara Johan yang ada di kursi roda kini ada didepan Bundanya.

"Maafin Bunda sama Ayah"

Johan sudah sangat sering mendengar kalimat ini. Dia sudah sangat hafal dengan raut bersalah dari Bunda atau Ayahnya. Mereka berdua akan menangkup kedua pipinya dan berucap maaf disaat yang bersamaan. Kebiasaan lama yang terus Johan ingat.

"Bunda tidak bermaksud menyakitimu. Tidak ada seorang ibu yang menginginkan anaknya menderita"

Bunda perlahan meraih kedua pergelangan tangan Johan yang masih ditutup perban dan menangkupnya dengan lembut.

"Johan tidak akan mendapatkan apa-apa dari ini semua"

Johan tertunduk melihat luka yang ia buat sendiri. Begitu lekat perban itu ia pandang dengan pemikiran yang terus menggemakan suara Bundanya.

"Bukan maksud Bunda untuk membuat Johan atau Abang benci dengan kehadiran Tuan Yoga diantara kami. Tapi Bunda hanya ingin ketika Johan atau Abang pergi ke rumah Bunda, disana masih ada sosok seorang ayah yang akan menjaga kalian"

Johan menghela nafasnya sebentar dan menatap Bundanya dengan begitu sayu penuh harapan.

"Kembali pada Ayah, Bun"

Sederhana sekali keinginan Johan selama ini. Tapi kenyataan berkali-kali menghempaskan harapannya seperti kalimat Bundanya ini, "Bunda dan Ayah, kami awalnya tidak ingin berpisah. Bunda dan Ayah hanya ingin menikah satu kali seumur hidup Bunda. Tapi kau tau apa? Diantara kami, tidak ada cinta. Bunda dan Ayah menjalankan pernikahan semata-mata untuk nilai dan keyakinan. Semenjak ada Johan dan Abang, cinta kami benar-benar untuk kalian. Kami tidak ingin Johan dan Abang hidup dengan kedua orang tua yang tidak saling mencintai"

Johan memandang Bundanya sejenak dengan tatapan yang sedikit mengintimidasi, "Bunda mencintai Tuan Yoga?"

Bunda tersenyum tipis karena pertanyaan Johan terdengar sedikit lucu dan aneh, "Bunda mencintai Tuan Yoga, Bunda sayang sama Ayah tapi semua itu tidak melebihi cinta dan sayang Bunda ke Johan sama Abang. Jika suatu saat Tuan Yoga menyakitimu atau Abang maka Bunda tidak akan terus bersamanya"

"Bukankah itu artinya Bunda menyakiti diri Bunda sendiri?"

Senyuman Bunda makin melengkung, "lalu ini apa? Bukankah Johan sudah menyakiti diri sendiri juga?"

Johan tidak berani menjawab. Dia tetap terdiam dan lebih memilih membisu sementara.

"Bukan berarti Tuan Yoga lebih baik dari pada Ayah. Mereka tetap laki-laki terbaik dalam hidup Bunda. Kami...dulunya pernah bersahabat dan--"

"Bunda selingkuh?"

Bunda menhirup oksigen sebanyak mungkin sebelum memutuskan mengangguk dan menatap Johan kembali dengan penyesalan yang makin memberat dari pada sebelumnya. 

Ada jeda cukup lama diantara ibu dan anak ini. Tidak ada yang bersuara lagi. Bunda terlalu malu, dia juga tidak bisa berbohong lagi. Ini adalah saatnya Bunda untuk diam lalu Johan yang mengeluarkan semua kemarahannya. Tapi reaksi yang ditunjukan Johan justru berbeda. Anak itu tidak marah. Dia tidak memukul atau berteriak bahkan menangis.

"Aku ingin kembali ke kamar, Bunda"

Hanya ini saja yang Johan ucapkan.

***

After

Johan menodongkan pisau buah pada lehernya sendiri dihadapan Ayah dan Bundanya. []

About Us || Season 1 & 2 Fin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang