From Stoic 1

11.4K 931 45
                                    

"Ezra?" Tito memanggil seseorang yang gaya berpakaiannya seratus persen milik Ezra, sahabatnya.

"Ng ... ini ... Ezra 'kan ya, Bang?" Tito bertanya sopan, agak ragu sebenernya soalnya takut salah orang.

Kakak tingkat yang Tito ketahui merupakan kepala divisi kepanitiaan Ezra, mengangguk singkat.

Dan Tito bingung hendak bagaimana, sebab mau membangunkan juga si kakak tingkat malah terus menyamankan Ezra dengan cara mengusap-usap punggung temannya itu.

"Mending lo duduk!" Teman Geraldy menarik lengannya agar duduk di sampingnya, mungkin biar enggak kaku-kaku amat kayak kanebo kering berdiri di samping meja kantin.

Beberapa menit, Tito bingung mau ngapain. Diliriknya teman Geraldy yang asyik bermain game di sisinya, lalu Geraldy yang lagi serius liat ponselnya sambil tangannya ngelus-ngelus Ezra pelan.

Waduh, gay sekali, Bunda, batin Tito ngaco sambil senyum-senyum creepy.

Nah, saatnya dia beraksi. Tito membuka kamera di hpnya, terus dia ngefoto momen uwu-uwu uasu itu. Abis gitu? Oh, tentu saja dia kirim ke Grup Para Pencari Surga buat minta penjelasan akan pemandangan kehomoan yang dia lihat ini.

"Hnggg ...." Ezra menggumam dalam tidurnya. Membuat ketiga orang di meja itu langsung menegak waswas.

Tubuh Ezra yang semula menelungkup, lantas terduduk. Dengan wajah pucat dan mata sayu, ia melihat satu per satu; dimulai dari Tito yang berada di depannya, Farel, hingga Geraldy.

"Jam berapa?" tanyanya parau.

"Jam satu, Zra," jawab Tito kalem.

Teman Tito itu mengangguk paham, lalu menarik tasnya. "To, ayo pulang."

Ezra berdiri, hendak melangkahkan kakinya tinggi untuk keluar dari bangkunya. Akan tetapi, telapaknya tiba-tiba disentuh oleh Geraldy, ditahannya pergerakannya.

"Kenapa, Bang?" Tito bertanya, mencoba mewakili. Pasalnya, dirinya sudah mau memapah Ezra, mendadak harus berhenti lagi. Padahal dia udah seneng karena nyaris terlepas dari kecanggungan luar biasa yang sedari tadi ia tahan.

"Ezra pulang sama gue."

Lantas Geraldy pun berdiri. Berjalan tanpa berpamitan pada Farel maupun Tito yang terbengong menatap keduanya.

"Kan bener, pasti bakal homo pada waktunya. Mungkin ini saatnya lo bersinar, Zra," gumam Tito ngawur.

"Sembarangan!" Farel selaku teman Geraldy yang mendengar itu, lantas menggeplak kepala Tito hingga empunya kepala meringis sakit.

"Apaan sih, lo? Sewot amat! Cemburu lo, hah? Mau jadi pelakor kan lo?!" tuduh Tito sambil menunjuk-nunjuk wajah Farel.

Farel? Shock, lah, dia menurut lo aja. Dia yang enggak biasa mendapatkan hal-hal tabu gini, tiba-tiba DUAR! temennya demen batangan yang notabenenya adik tingkatnya sendiri.

Farel bukan homophobic, tapi emang susah banget buat nerima begituan ya mohon maap lahir dan batin.

Si yang lebih tua menatap yang lebih muda dengan tatapan serius. "Lo ngomong gini tuh, sadar nggak sih? Lo nggak di bawah pengaruh narkoba, 'kan?"

"NGAWUR! GUE JEBRET NIH YA MULUT LO!" Tito teriak nggak terima. "Narkoba, narkoba, muka lo tuh kek anak baru ngelem!"

Astagfirullahaladzim.

Farel yang ngedenger itu langsung istigfar dalam hatinya liat peranakan Dajal macem Tito yang ngomongnya nggak difilter. Farel curiga mulutnya Tito emang kebanyakan dijejelin cabe rawit.

"Kurang ajar!" sentak Farel emosi.

Ini baru kali ini ada maba yang nggak ada manis-manisnya ke kakak tingkat, mulutnya minta disumpelin gagang sapu kali biar diem.

"Sana lo jauh-jauh dari gue," usir Tito sembari mendorong bahu Farel. "Dan satu lagi, jangan gangguin Ezra sama Geraldy! Cari yang lain! Jangan mengganggu keharmonisan hubungan mereka!"

Keharmonisan pala kau, hubungan pala kau. Nggak tau aja Tito, mah.

"Monyet, lu kata temen gue homo!?"

"Iya, dia homo! Lo juga homo! Lo semua homo, bye!" kata Tito nggak mau kalah.

"GUE GAK HOMO?!"

"LO HOMO!"

"GAK! GILA YA LO!"

"Kalo gitu, stop mengganggu rumah tangga Bang Geraldy sama Ezra. Ngaca, goblok. Lo tidak cukup perkasa untuk menikung Ezra."

Farel enggak terima ya minalaidzim walfaidzin, enak aja Tito ngomong dia nggak perkasa. Tito tau apa tentang si jago kebanggaannya.

"Enak aja! Gue perkasa ya, anjing! Lo mau gue perkasain, hah?"

Ambigu. Sungguh ambigu. Tito speechless banget, Bro, mau ngerespons apa.

Karena tak kunjung dijawab, Farel menggeplak kepala bagian belakang Tito keras. "Heh! Mikir jorok ya, lu!"

"SAKIT, ASU!"

Eh, pas mau bales nabok, si Farel malah lari meninggalkan Artito yang lagi diselimuti dendam bekas geplakan yang dia berikan.

"BANGSAT! GUE DOAIN LO BELOK BENERAN NIH YA!" teriak Artito pada Farelino. "Demi Allah, gue doain lo jadi manusia belok-sebelok-beloknya makhluk. Gue doain lo jadi homo—tapi, nggak sama Ezra atau Geraldy—bye!"

Tanpa Tito ketahui, sumpah serapah yang ia ucapkan udah di-request sama malaikat ke Tuhan.

Dan mungkin, sumpah jelek bisa aja berbalik ya, kan? Siap-siap aja, sih, To.

-
-
-
-Bersambung-

Ini bakal di-copas 7 chapter khusus Farel-Tito yang ada di cerita Stoic dulu di sini. Biar apa? Biar gue enggak perlu nyeritain ulang asal muasal mereka, juga biar lu pada kalo males baca Stoic bisa loncat ke sini langsung tanpa ngang-ngong ngang-ngong hah-heh-hoh kok bisa Farel dan Tito saling kenal begitu, Sobat.

MorosisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang