Part 3

20K 925 8
                                    

Entah kata apa yang cocok untuk mendefinisikan hubungan itu. Sudah lebih dari dua minggu mereka berstatus suami istri, namun interaksi diantara keduanya masih terlihat kaku. Nisma bahkan tidak tahu fungsi dirinya di sana sebagai apa. Istri atau sekadar koleksi pajangan.

Herdy memang memperlakukan Nisma dengan baik. Dia memberikan nafkah, mencukupi kebutuhan gadis itu, namun rasanya tetap asing. Seolah yang dilakukan Herdy hanya sekadar formalitas. Tidak seperti pengantin baru pada umumnya, yang sedang dalam masa-masa hangatnya, hubungan mereka justru terasa hambar, monoton. Herdy bahkan belum mendaftarkan pernikahan mereka ke KUA.

Kebersamaan yang tercipta pun sangat minim dan terbatas. Herdy akan berangkat pagi, pulang lusa, menyapa sebentar, makan, kemudian tidur dan kebiasaan itu terus berulang.

Ini keterlaluan. Rasanya Nisma ingin pulang saja ke Bogor. Setidaknya di sana ia punya aktifitas, selain menunggu suami yang bahkan tidak pernah meliriknya dua kali. Seandainya Nisma bekerja, setidaknya ia tidak akan sebosan ini.

Menarik napas, Nisma menempelkan pipinya ke atas meja. "Jadi anak kecil itu enak ya, Kal. Tau main aja. Gak berat mikirin ini-itu" Nisma bermonolog sambil memperhatikan Haikal yang sedang mengobrak-abrik isi kotak mainan di atas karpet. Untunglah, keberadaan Haikal bisa sedikit menghibur hari-hari Nisma. Kalau tidak ada bocah itu, Nisma bisa mati kebosanan.

Tak lama,terdengar ketukan pintu disertai suara salam dari luar. Nisma beranjak untuk membuka pintu, menyambut sosok yang mulai familiar akhir-akhir ini.

"Baru pulang ?" Sapa Nisma, seraya mencium tangan Herdy.

"Iya" Pria itu masuk diikuti Nisma yang membawakan ranselnya. "Kenapa sepi ?"

"Pada ke rumah sakit. Mau minum teh atau kopi ?" tanya Nisma, melangkah menuju pantry setelah menyimpan ransel Herdy ke ruangannya.

"Siapa yang sakit ? Air putih aja, tolong"

"Bukan sakit. Nirmala kayaknya udah waktunya melahirkan. Tadi sempat kontraksi, terus Harris bawa ke rumah sakit. Mama ikut juga" jelas Nisma, menyerahkan segelas air kepada Herdy, lalu membereskan mainan yang berserakan menghalangi jalan.

Herdy mengambil tiga tegukan setelah mengucap basmalah "Kamu di rumah sendirian ?"

"Nggak. Sama Haikal"

Seolah bayi sebesar itu tidak kelihatan. Herdy mendengus, samar. Turun dari sofa, Herdy ikut melantai bersama Haikal yang seketika merentangkan tangannya girang.

"Hallo, big boy. Do you miss me ?" Herdy menggulingkan tubuh berisi Haikal, lalu menduselkan wajahnya ke perut bocah itu. Gelak tawa khas anak-anak memenuhi setiap dinding ruangan, menggantikan kesunyian yang dirasakan sebelumnya.

"Nirmala pasti ngamuk, kalau lihat kamu gulatin Haikal sebelum bersih-bersih. Badan kamu itu bakteri semua lho"

Siapa peduli. Herdy meneruskan aksinya menggelitiki Haikal, yang membuat Nisma hanya menggeleng pasrah lalu beranjak hendak menyiapkan makan untuk suaminya. Kalau tidak salah masih ada sayur asam sisa siang. Biarlah, dibilang tidak sopan ngasih suami makanan sisa. Daripada mubadzir. Kan ?!

"Nis.." Panggilan Herdy menghentikan langkah Nisma.

Gadis itu berbalik "ya ?"

"Kita makan di luar saja"

"Apa ?"

Herdy bangkit seraya melonggarkan dasinya "Kamu tunggu di depan. Nanti saya nyusul"

Otoriter. Khas Herdy sekali. Kadang Nisma bertanya-tanya ; Apakah Herdy tidak tahu cara membedakan permintaan, ajakan, dan perintah. Mengapa semuanya terlihat sama, saat dia yang mengatakannya.

Jodoh Pengganti (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang