Part 13

17.5K 897 48
                                    

Senyum kamboja menghantar kami, meninggalkan makam sepi sendiri. Damailah Bunda dalam pengabdian, insan kerdil menghadap Tuhan.

***

Nisma melihat bagaimana Herdy masuk dengan tatapan kosong dan bahu terkulai. Ia baru saja kembali selepas mengantar Mama ke peraduan terakhir. Para istri tidak ikut dan hanya menunggu di rumah. Di depan pintu Herdy membatu, seolah berat kakinya melangkah memasuki rumah itu. Terus terang Nisma merasa sakit melihat suaminya tampak hancur. Beranjak dari duduk, Nisma memeluk tubuh Herdy.

"Ridho A. Mama udah tenang disana" Suara Nisma parau, tangisnya tertahan di tenggorokan. Tadi Nisma sudah cukup banyak menangis, ia tak mengizinkan tangisnya kembali pecah di depan Herdy. Herdy tidak butuh itu. Herdy membutuhkan dukungan, bukan air mata.

Herdy membalas pelukan istrinya, namun pelukan itu terlalu lemah. Kepalanya jatuh di pundak Nisma. Herdy tidak menangis. Tidak setetespun.

"Aku lelah" bisik Herdy.

Tentu saja, lelah secara fisik dan psikis. Pria itu baru mendarat dari KL dan langsung disuguhi kabar kematian Mamanya, lalu tanpa jeda langsung berangkat lagi ke pemakaman. Kurang lelah apa.

"Istirahat, yuk" Nisma menuntun Herdy menuju kamar bekas mereka tinggal dulu. Herdy masih diam saat Nisma membantu melepas kemeja putihnya yang diwarnai bercak tanah merah. Tenaga nya benar-benar terkuras habis. "Aa mandi dulu. Ninis udah siapin air hangat"

Selagi menunggu Herdy membersihkan diri, Nisma bergerak mengambil makanan dan dua gelas air dari dapur lalu dibawanya ke kamar. Herdy sedang duduk di tepi ranjang, saat Nisma masuk. Kepala tertunduk, siku ditopang di lutut dengan jari-jari tenggelam diantara rambutnya yang basah.

"Makan dulu, A"  ujar Nisma sambil meletakan nampan di atas nakas. Namun pria itu bergeming, dan tetap menunduk. Saat Nisma mendekat, ia melihat setetes air jatuh dari dagu Herdy, terlihat berkilau di tengah ruangan yang temaram.

Herdy menangis. Dan Nisma tak berpikir lagi membenamkan wajah Herdy ke perutnya. "Menangis saja. Jangan ditahan"

Herdy memeluk pinggang Nisma yang berdiri di depannya. Ia berusaha tegar diluar, tetapi didalam, rasa sakit itu memberontak meminta pelepasan. Tak satu kata terlontar, hanya ada tangis memecah keheningan. Hari semakin beranjak, lembayung di langit menggelap, nun jauh terdengar sayup-sayup adzan berkumandang, menambah kesan pilu pada siapapun yang mendengarnya.

"Sudah maghrib. Shalat dulu, yuk" Nisma membelai kepala Herdy, memperlakukannya persis seperti menghibur anak kecil yang sedang merajuk.

Memberi jarak, Herdy mengusap wajah kasar seraya mengucap istighfar.

"Aa shalat di rumah aja" Nisma tahu Herdy masih agak linglung, jadi ia mengusulkan untuk shalat di rumah.

Herdy menggeleng "Mau ke Masjid" Tak menunggu tanggapan Nisma, Herdy segera berlalu, membawa peci dan sajadah hendak berjamaah.

***

Malam harinya Darmawan bersaudara berkumpul beserta istri masing-masing di sebelah mereka. Waktu yang pas untuk berbicara, mengenai kronologi sebelum kematian Mama. Tentu saja Harris sebagai yang terakhir bersama Mama dan yang pertama menemukan Mama meninggal menjadi objek pertanyaan abangnya. Hilman yang bertanya, sedangkan Herdy lebih banyak diam.

"Kemarin Mama sempat menanyakan kamu, Her." Harris memusatkan atensinya kepada Herdy yang sedang memainkan tasbih Mama. "Mama bilang ingin ketemu, soalnya takut nanti gak bisa ketemu lagi. Aku bilang kamu ada terbang ke Kuala Lumpur jadi gak bisa ketemu sekarang"

Jodoh Pengganti (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang