Darren ke kamar rawatnya pagi ini. Masih seperti kemarin pria itu bersikap lembut padanya, berubah seratus delapan puluh derajat, tidak lagi dingin apalagi sinis. Joya senang hanya ia tidak nyaman. Sulit rasanya membedakan pria itu memang tulus telah jatuh cinta padanya atau karena ada embel-embel lain.
Darren meyakinkannya agar mau keluar kamar dan jalan-jalan menghirup udara segar di taman rumah sakit dengan bantuan kursi roda. Sekaligus belajar membiasakan diri dengan alat bantu berjalan tersebut.
Joya benar-benar tidak mau. Ia lebih suka menutup diri sendirian di kamar dibanding dilihat orang dengan kursi roda. Rasanya ia belum siap ditatap orang-orang dengan tatapan iba.
"Ayolah Joya... Kamu jangan ragu, aku akan menemanimu." Ajak Darren.
"Kamu nggak ngerti. Aku cacat."
"Kehilangan fungsi ekstremitas bagian bawah tidak akan membuatmu kehilangan segalanya Joya. Itu bukan kutukan. Kamu gadis paling percaya diri yang pernah ku kenal, gadis paling tak mudah putus asa. Jangan berubah Joya. Itu yang membuatku jatuh cinta padamu... Semangat itu jangan pudar." Darren membagi senyum manisnya.
Joya menyukai senyum pria itu namun ia tidak percaya diri bahwa Darren tersenyum ikhlas padanya atau dibuat-buat. Joya tak bisa berkata-kata.
Joya membuang tatapannya dari Darren. Bicara memang mudah tapi sangat sulit saat melakukannya. Dia terbiasa sempurna, berjalan anggun dengan heels.
Darren menggendongnya secara tiba-tiba ala bridal ke kursi roda. Ingin protes tapi tahu ia tak punya daya, sehingga ia pun pasrah.
Ini pertama kalinya Joya menduduki kursi itu pasca operasi dan keluar dari ICU. Ia menelan saliva yang nyangkut di tenggorokannya. Kursi itu nyaman tidak ada benda tajam sama sekali, tapi entah kenapa terasa sakit saat mendudukinya.
Darren berlutut di hadapan Joya lalu memangku tangan di lutut gadis itu sambil menatapnya lembut dan sedikit memiringkan kepalanya.
Astaga kenapa Darren bersikap semanis ini sekarang? Apakah dia memang aslinya seperti ini, lelaki yang hangat dan perhatian? Atau dia hanya berpura-pura karena merasa bersalah atas kelumpuhanku? Joya bertanya-tanya dalam hati.
Joya memilih memalingkan wajahnya ke kiri menghindari tatapan mata dengan Darren. Senyum Darren manis sekali, dan sikapnya membuat Joya berdebar kencang, tapi saat ini semuanya terasa menyakitkan. Terlalu sulit menempatkan diri, apakah ia harus berbahagia atau menderita.
"Kenapa berpaling? Apa senyumku tak membuat hatimu berdebar? Padahal selama ini, setiap kamu tersenyum apalagi memeluk atau menciumku tiba-tiba, hatiku selalu berdebar kencang..." Ucap Darren.
Joya merasakan wajahnya memanas, ia sampai menggigit bibir bawahnya saat ingat kekonyolannya selama mengejar cinta Darren. Joya putuskan menatap mata pria itu.
"Kamu mau menggodaku atau mengajakku jalan-jalan? Jangan salahkan aku jika kamu harus menanggung malu karena membawa gadis cacat bersamamu." Ucap Joya sinis.
Hati Darren tersakiti dengan ucapan gadis itu. Joya sekarang begitu berbeda dari sebelumnya. Tapi ia tidak akan menyalahkan gadis itu.
Dirinya saja yang terlambat mengaku cinta. Sekarang saat Joya harus mengalami fase terberat dalam hidupnya, gilirannya meyakinkan gadis itu jika cintanya bukan sekedar iba atau rasa bersalah. Bahkan ia harus berjuang agar Joya kembali semangat dan menerima kondisi nya saat ini.
Orang tua Joya, yaitu Joe dan Aryana memang dengan mudah memberi izin padanya menikahi putri mereka, Joya juga kemarin tidak menolak menikah dengannya, tapi perjuangannya bukan sampai berhasil menikahi Joya. Perjuangannya adalah agar ia dan Joya bisa bahagia, dan ia harus meyakinkan Joya untuk mencapai hal tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Man (Sequel MBA-my Beloved Aryana)
Storie d'amoreDewasa 21+ "Hai... Nama gue Joya. Gue anaknya dr.Aryana dan pengusaha properti Joe Hansen." perempuan muda nan cantik itu mengulurkan tangannya pada seorang pria berjas putih berkaca mata. Sedetik-dua detik-lebih dari sepuluh detik. TIK.TOK.TIK.TOK...