13. Venesia

2K 333 78
                                    

Bismillah.

***

Angin di tepian dermaga meniup khimar Mariam yang berwarna moka hingga berkibar ujungnya. Sendirian, ia duduk menatap riak laguna yang menghampar di hadapan. Memeluk lutut, dengan punggung bersandar di salah sebuah lampu jalan. Mencoba menguatkan diri, mengadu pada Sang Pemilik Hati.

"Rabbi... Beginikah rasanya jatuh cinta? Apakah begini pula rasanya patah hati? Jadi, apakah saya mengalami keduanya sekaligus? Astaghfirullah.
Ampuni Ya Rabb. Jika jatuh cinta menjadikan saya lemah dan menjauh dari-Mu, sedangkan patah hati menguatkan saya untuk semakin mendekat pada-Mu, maka ijinkan saya untuk memilih yang kedua.
Ampuni Ya Rabb. Jika ada kecewa atas perasaan yang baru pertama kali Kau hadirkan di sini, di hati ini. Mungkin ini teguran dari-Mu atas kelalaian saya menjaga hati. Tolong ingatkan saya, bahwa apapun itu, jikalau ia adalah kehendak-Mu, maka Kau tidak akan pernah mengecewakan hamba-Mu."

Mariam menyeka bening di sudut netra, untuk kesekian kali dia menangis hari ini. Istighfar terlantun berulangkali, rasa malu memenuhi diri. Malu, atas lemahnya hati.

Benak Mariam berkelebat, mencoba mencari jalan agar perasaan dan pikiran tak tersesat dalam satu saat. Hingga ia teringat pada kisah seorang sahabat, yang padanya gelar sebagai syahid yang berjalan di muka bumi ternisbat. Ialah Thalhah bin Ubaidillah.

Suatu hari ia berbincang dengan Aisyah binti Abu Bakar, sepupunya yang juga istri Rasulullah. Kemudian datang Sang Nabi dengan wajah tak berkenan. Beliau memberi isyarat agar Aisyah masuk ke dalam biliknya. Wajah Thalhah memerah, ia memohon diri dan berkata dalam hati, "Beliau melarangku berbincang dengan Aisyah. Tunggu saja, jika beliau telah wafat, tak akan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar Aisyah."

Apa yang diucapkan Thalhah disambut dengan wahyu. Allah menurunkan firman-Nya dalam Surat Al Ahzab ayat 53,
"... Dan apabila kalian meminta suatu hajat kepada isteri Nabi itu, maka mintalah pada mereka dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tiada boleh menyakiti Rasulullah dan tidak boleh menikahi isteri-isterinya sesudah wafatnya selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di hadapan Allah." ¹)

Ketika ayat itu dibacakan, Thalhah menangis, memohon ampunan kepada Allah. Ia lalu memerdekakan budaknya, menyumbangkan sepuluh untanya di jalan Allah, dan menunaikan umroh dengan berjalan kaki.

Ketaatan kepada Allah dan Rasulullah di atas segalanya. Thalhah menyingkirkan perasaan yang diharamkan baginya. Meski demikian, kasih yang tak sampai itu tetap dibawa. Hingga kemudian, dengan penuh cinta dinamainya putrinya dengan nama Aisyah. Aisyah binti Thalhah. Seorang muslimah yang kelak menjadi permata di masanya karena kecantikan, kecerdasan, dan kecemerlangan yang serupa dengan Aisyah binti Abu Bakar.

Mariam menangis sekali lagi. Kali ini dengan kekuatan hati yang membuncah. Menyadari apa yang dialaminya jauh lebih ringan hingga tak seharusnya membuat hatinya lemah. Kisah Thalhah bin Ubaidillah menusuk qalbunya.

"Rabbi, maafkan atas kelemahan yang mendera. Dan terima kasih atas kesadaran yang Kau selipkan ke dalam nurani. Apa yang saya alami jauh lebih ringan dari beliau, syahid yang berjalan di muka bumi. Bagaimana tak berat, jika cinta yang dimiliki membuat-Mu menurunkan firman yang tergores hingga akhir zaman. Menanggung malu, juga rasa bersalah yang mungkin tak bisa diungkapkan. Tapi, cinta-Mu dan cinta dari kekasih-Mu adalah segalanya bagi sahabat nan mulia. Maka izinkan saya berharap, cinta-Mu dan cinta kekasih-Mu juga selalu menjadi segalanya bagi saya.
Alhamdulillah. Masya Allah laa quwwata illa billah."

Mariam tersenyum sendiri. Menyadari, tak seharusnya masalah sekecil itu membuatnya oleng saat berdiri. Itu cuma spoiler, yang meski sedikit tapi nyelekit. Sepertinya Allah cuma ingin 'mencubit', agar ia tak lalai pada perasaan yang berpotensi membuat imannya menyempit.

Selepas Hidayah [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang