Bismillah.
***
Tiga hari berlalu sejak Mariam pergi. Sore itu Anna benar-benar gelisah memikirkan sahabatnya. Berkali ia mencoba menghubungi, baik via telepon maupun pesan, tapi tak satu pun mendapat tanggapan. Padahal pesannya terkirim. Pun saat menelepon, ada nada panggil terdengar, hanya saja tak ada respon dari seberang. Anna mulai frustasi.
"Kau memikirkan sahabatmu?" suara Latifa mengagetkan Anna.
"Hemm," jawab Anna singkat.
Latifa duduk di samping Anna, menyelonjorkan kaki dan menyandarkan punggung pada sandaran tempat tidur. Lalu memeluk bantal. Gayanya persis seperti kakaknya. Anna tertawa kecil melihat tingkah Latifa.
"Kau mengenalnya dengan baik, kupikir kau tak perlu mengkhawatirkannya." Adik iparnya menasehati sambil memainkan helai-helai rambutnya sendiri dengan jemari.
"Maksudmu?"
"Mariam orang yang tangguh, kuat. Badannya memang kecil, tapi tidak dengan nyali dan prinsipnya. Aku yakin dia bisa menjaga dirinya. Di manapun dia berada, dia akan baik-baik saja. Insya Allah."
"Bagaimana mungkin kau begitu yakin melebihi aku yang belasan tahun jadi sahabatnya?" Anna mengernyit, sedikit tak yakin.
"Tentu saja, karena aku punya level kepekaan yang lebih tinggi darimu." Skak mat! Anna tersenyum kecut. Latifa memang tak kenal basa basi, khas typical orang Eropa.
"Sesaat setelah Ahmar mengucap qabul, aku tau ada sesuatu yang tersembunyi darinya dan Mariam.Lalu saat kita makan seafood di restoran pinggir pantai, yang aku lupa nama restonya, kami sempat ngobrol berdua."
"Jadi kau sudah tau sejak lama?" pekik Anna.
"Ssstt, biasa saja lah! Kan aku sudah bilang, level kepekaanku jauh di atasmu, Anna."
"Hih, iya iya." Anna sedikit emosi.
"Lalu apa yang diceritakan Iam kepadamu, Latifa?"
"Ia cerita kalo dia sempat jatuh dan lemah karena masalah itu. Ibunya tau, lalu bertanya 'apakah kau melakukan semuanya karena Allah?', Mariam bilang iya. Lalu ibunya berkata 'jika kau melakukannya karena Allah, maka seharusnya kau tak selemah itu'. Begitu yang dia ceritakan padaku."
"Dan sejak saat itu, kata-kata ibunya selalu menjadi penguat setiap kali ia menemui kesulitan."
Mendengar penjelasan Latifa tentang Mariam, terbersit begitu saja di hati Anna untuk menghubungi ibu Mariam. Menanyakan, mana tahu ada kabar tentang Mariam. Anna sudah hafal kebiasaan sahabatnya, yang selalu berkabar dengan orang tuanya saat mereka tak bersama. Minimal sekali dalam sehari, itu sudah menjadi semacam kewajiban baginya.
Tak menunggu lama, Anna segera menghubungi Ibu Mariam.
"Assalamualaikum, Tante. Ini Anna, Tante. Adrianna, sahabatnya Iam."
"Waalaikumussalam. Masya Allah Anna, apa kabarnya, Nak? Sudah sembuh kah?" Ibu Mariam menjawab telpon Anna denga semringah.
"Alhamdulillah sudah, Tante. Apa Iam tidak pernah cerita?"
"Belum, Nak. Terakhir dia mengabari kami saat dia tiba di Granada. Setelah itu dia tak pernah lagi berkirim kabar."
"Masa sih, Tante? Kayanya Iam nggak gitu deh. Biasanya kan dia paling rajin kabar-kabaran sama Tante. Minimal sekali setiap hari wajib. Saya sampe hapal." Anna mencoba tertawa.
"Apa Mariam nggak cerita apa-apa tentang orang tuanya?"
"Mak-maksud Tante?"
Ibu Mariam menghela napas, "Baiklah, Nak. Karena kamu sahabatnya, orang terdekatnya setelah kami, oh bukan, malah kamu lebih dekat daripada kami, maka biar tante ceritakan sesuatu yang Mariam sendiri pun baru kami beritau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selepas Hidayah [SELESAI]
General FictionUpdate setiap Rabu dan Sabtu . Berawal dari langkah yang salah, perjalanan singkat ke tanah Eropa justru membawa Anna pada hidayah. Selepas hidayah, Allah memberinya pula serangkai hadiah. Seseorang yang datang untuk membimbingnya meniti jalan cahay...