Bismillah
***
"Iam, maafin aku ya. Aku janji besok balik ke sini lagi. Pokoknya kamu harus cepet sembuh," ucap Anna dengan netra berkaca. Sedih memenuhi dadanya, inginnya menemani Mariam yang sedang kepayahan dalam sakitnya, tapi dia tak membawa baju ganti barang sepotong saja. Memakai baju Mariam pun tak memungkinkan, tinggi badan keduanya saja berselisih hampir 20 centi.
Pun dengan Mariam, yang justru sekuat tenaga membujuk sahabatnya untuk pulang. Membereskan hubungan dengan kedua orang tuanya dijadikan dalih agar Anna tak bertahan di sampingnya. Setidaknya untuk saat ini, karena yang dia ingini hanyalah memulihkan kondisi hati.
Tak lama selepas sang sahabat berlalu pergi, gadis mungil bermata belo itu menarik selimut lembutnya yang berwarna putih hingga sebatas lehernya. Menggigil, dengan suhu badan yang hampir menyentuh kepala empat dalam derajat celcius.
Ia bergeming, meski getar dari ponselnya terdengar berulang kali dari atas sofa abu-abu tua berjarak dua meter dari tempatnya berbaring. Tak sedikit pun berusaha menggapai, tersebab denyut di kepalanya yang tak kunjung usai. Seseorang menggeser pintu dan melangkah masuk ke ruangan bernuansa monokrom itu. Ia mendekati gadis yang meringkuk dengan wajah kuyu.
"Kamu kenapa to, Nduk? Nggak biasanya kamu begini." Tangan ibu menyentuh dahi, berpindah ke leher, lalu mengelus pelan rambut anak gadisnya.
"Mariam cuma kecapean aja, Bu. Insya Allah sebentar juga sehat lagi.
"Iya, tapi kalo sampe besok masih begini, kamu harus ke dokter." Ibu khawatir, Mariam jarang sekali tumbang karena meriang. Sepanjang menjadi anaknya, bisa dihitung tanpa perlu menghabiskan jemari kedua tangannya.
"Apa ada penyebab lain? Ada yang mengganggu pikiranmu misalnya?"
"Huff, gini deh kalo di depan ibu, selalu kebaca kalo ada sesuatu yang nggak beres."
"Eh, tapi kan aku sakit bukan karena itu," jerit hatinya bersahutan seiring rasa malu yang berjejalan.
Ponsel Mariam kembali bergetar, seakan memanggil keingintahuan ibu akan apa yang ada di layar. Sebaris nama terbaca di sana. Ahmar.
"Siapa Ahmar?" Ada curiga yang bersembunyi di mata ibu. Terang saja, tujuh panggilan tak terjawab terbaca di layar gawai anak gadisnya, yang selama ini hampir tak pernah berhubungan dengan makhluk bernama pria.
"Eh, anu, i-itu, Bu, calon suaminya Anna." Gugup. Mariam menggigit bibir, menahan matanya agar tak memuntahkan butiran hangat.
"Calon suaminya Anna tapi nelpon kamu?" Ibu mengernyit, membuat hati anaknya menyempit.
"I-iya, Bu. Mungkin mau nanya tentang Anna, karena mereka belum kenal lama."
"Sama kamu, udah kenal lama?"
"Eh, ya nggak juga sih, Bu. Di-dia itu tour guide kami waktu jalan ke Eropa kemarin itu."
"Nduk, adakah yang ingin kamu sembunyikan dari ibu?"
Sungguh, kalo boleh minta, Mariam ingin menghilang saat itu juga. Mungkin tak mengapa jika harus hipothermia di kutub utara, atau dehidrasi di gurun Sahara, yang penting tidak harus menjawab pertanyaan ibunya.
"Kau mencintai calon suami sahabatmu?"
"Dia mencintai aku, Bu." Mariam bangun dari rebahnya, terisak-isak nelangsa.
"Maksudmu?"
"Dia mencintai Mariam, Bu. Dia ingin melamar aku, tapi aku nggak bisa. Karena aku tau, Anna mencintai dia, bahkan sebelum aku menemukan perasaan itu dalam diriku. Aku memintanya untuk melamar Anna saja, dan di saat-saat terakhir perjalanan kami, ia melakukannya."
"Tapi kau juga mencintai dia kan?" Mariam mengangguk pelan. Lunglai. Lalu kembali terkulai. Menyembunyikan tubuh hingga wajahnya di balik selimut kesayangan.
Ibu menghela napas sebelum melanjutkan pembicaraan,
"Nduk, hidup itu adalah pelaksanaan dari rangkaian keputusan. Ketika kita telah memutuskan sesuatu, maka ada konsekuensi yang mengikuti, yaitu melaksanakan keputusan itu.""Kamu nggak bisa menerima dia, lalu menyuruhnya untuk melamar sahabatmu. Dua keputusan kamu lakukan sekaligus. Maka kamu harus melaksanakan pula keduanya." Tangan ibu merayap ke punggung anaknya, mengusap lembut tubuh yang tersembunyi di balik selimut.
"Dan kamu pun harus menerima, apapun keputusan yang diambil oleh laki-laki itu, juga keputusan sahabatmu. Kamu memang bisa memberi saran buatnya, tapi nggak punya hak untuk menentukan apa yang akan menjadi keputusannya."
"Ibu tau, ini pasti sangat berat buat kamu. Karena ibu juga tau, ini pertama kalinya dalam hidupmu kamu jatuh cinta. Tapi sekaligus dihadapkan pada dilema."
"Tanyakan pada hatimu, benarkah keputusan yang kamu ambil adalah benar-benar karena Allah? Jika YA, maka seharusnya kamu nggak selemah itu, Mariam."
Mariam tak henti merapal istighfar setelahnya. Malu, pada Dia Sang Maha Cinta.
"Maafkan Mariam, Bu," pinta Mariam, tak selirih sebelumnya. Apa yang dikatakan ibu seakan memberi kekuatan padanya.
"Jika keputusan yang kamu ambil benar-benar karena Allah, maka seharusnya kamu tak selemah itu," kata-kata ibu terngiang-ngiang di benaknya.
"Terima kasih, Bu. Ibu nggak usah kuatir. Insya Allah aku segera sembuh." Ia bangkit, memeluk ibunya.
***
[Mariam, apakah kau baik-baik saja? Kudengar kau sakit.]
Pesan dari Ahmar yang pertama kali ia baca begitu punggung ibu menghilang di balik pintu. Kurang dari satu menit sesudahnya, gawai Mariam kembali bergetar-getar karena panggilan suara. Nama Ahmar tertera di layarnya. Mariam menolak panggilan itu dengan tergesa.
[Tidak, aku baik-baik saja. Tak perlu mengkhawatirkan aku.]
[Dan tolong, jangan ganggu ikhlasku dengan perhatianmu.]
"Aku tak selemah itu," gumam Mariam, kelu.
[Maafkan aku, Mariam. Jika kau pikir hanya kau yang merasakan sakit, kau salah.]
[Sudahlah, Ahmar. Setidaknya sebentar lagi akan ada seseorang yang dengannya kau bisa berbahagia.]
[Kau cemburu?]
Mariam bergegas memilih menu blokir tanpa berpikir panjang. Meski setelahnya ia merasa malu, karena menyesal selalu datang di belakang.
***
Ciyeee ada yang baper ciyeee...
Maafkan, part kali ini bener-bener singkat padat dan gak jelas. Teteup ya. Ahaha...
Gara-gara ketiduran pas nemenin bocils tidur, dan baru kebangun di jam cinderella. Padahal tulisan baru dapet seuprit. Tapi gak pa-pa ya. Semoga tetap bisa menghibur buat yang membaca.
Terima kasih, Kalian. Dan jangan lupa bahagia.
Love,
fitrieamaliya

KAMU SEDANG MEMBACA
Selepas Hidayah [SELESAI]
Genel KurguUpdate setiap Rabu dan Sabtu . Berawal dari langkah yang salah, perjalanan singkat ke tanah Eropa justru membawa Anna pada hidayah. Selepas hidayah, Allah memberinya pula serangkai hadiah. Seseorang yang datang untuk membimbingnya meniti jalan cahay...