Bismillah.
***
Enam bulan kemudian.
Mereka tak tinggal bersama. Atas permintaan Anna, Ahmar dan Mariam tinggal di flat, sedangkan Anna dan Maira tinggal di rumah mama. Hanya jika Ahmar pergi berhari-hari karena pekerjaannya, Mariam akan tidur di rumah mama. Semua berjalan baik-baik saja dan bahagia.
Setiap pagi sampai sore, Mariam merawat dan menemani Anna serta Maira. Mendampinginya ke islamic centre, menyimak hafalannya, mendampingi belajar agama, dan semacamnya. Juga membantu segala keperluannya, karena usia mama yang sudah beranjak senja sehingga mereka bertiga berusaha untuk tak merepotkan mama.
Pun Ahmar, ia selalu berangkat dan pulang bekerja dari dan ke rumah mama. Meninabobokan tidur malam Maira, lalu menemani bicara berdua dengan mama Maira hingga tidur. Setelahnya baru bersama Mariam pulang ke flat mereka.
Hanya saja, hingga hari itu Mariam belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Ahmar tak menuntut apapun, begitupun Anna. Tapi Mariam merasa resah dan gelisah, ia takut haidnya yang bermasalah menjadi penyebabnya. Maka kemarin ia memeriksakan dirinya, berharap hasilnya akan baik-baik saja.
-----
Pagi itu usai sarapan, mereka menanti kabar dari Latifa yang membawa hasil pemeriksaan Mariam.
"Iam, maaf. Apakah selama ini kau merasa kumanfaatkan?" tanya Anna tiba-tiba. Mereka baru saja menyelesaikan makan pagi dan duduk santai di ruang keluarga.
"Maksudmu gimana?" Mariam sedikit bingung.
"M-maksudku, apa kamu ngerasa menjadi perawatku dan baby sitter buat Maira di sini?"
"Hush, ngomong apa sih? Enggak lah. Sama sekali enggak! Nggak usah ngomong gitu lagi deh. Malesin banget tau nggak sih, An. Justru aku seneng, karena di sini aku merasa memiliki segalanya. Kamu, Maira, juga... Ahmar. Plus Mama dan Latifa. Semuanya karena kamu, karena kebesaran hatimu mau menerima aku. Terima kasih atas pengorbananmu, Anna. Please, jangan diulang ngomong begitu lagi ya."
"Kamu memang pantas bahagia, Iam. Kalian berdua pantas bahagia. Dulu, kalian yang mengorbankan kebahagiaan demi menjaga aku agar tetap di jalan-Nya, tetap dalam hidayah-Nya. Aku baru memeluk Islam, masih butuh banyak penguatan. Mungkin jika kalian menikah saat itu, sedang imanku masih sangat seadanya, mungkin aku akan...,"
"Ssstt, semuanya sudah lewat, Sayang. Semakin hari kau semakin hebat. Aku bangga padamu." Ahmar memeluk Anna penuh sayang.
"Kau yang hebat, Ahmar. Bagaimana mungkin kau bisa membagi cinta tapi aku tak merasa cintamu berkurang sedikit pun padaku? Yang kurasakan justru cintamu yang semakin besar untukku." Anna balik memuji Ahmar.
"Itu karena kau menyerahkan segalanya pada-Nya, sehingga Dia meluaskan hatimu dalam menjalani semuanya. Hati yang luas itulah yang membuatmu merasa selalu bahagia."
Ting tong.
"Assalamualaikum." Bel berdentang bersamaan pintu terbuka dan salam yang riang dari bibir Latifa. Ia datang bersama Juan, entah ketemu di mana.
"Bagaimana hasil pemeriksaannya Latifa?" sambut Mariam dengan tak sabar.
"Maafkan aku, Mariam. Kau yang sabar ya," kata Latifa lirih, ia menundukkan kepalanya dalam.
"Cukup, Latifa. Tidak usah dilanjutkan. Aku sudah tau kelanjutannya," ujar Mariam lemas. Ia bergeming, mencoba tegar dan bertahan, walau bulir bening telah menggenang.
Anna menggulir kursi rodanya mendekati Mariam, memeluk dan menghiburnya.
"Iam, kau pasti tau kisah keluarga Imron. Ketika istri Imron meminta kepada Allah agar diberi anak laki-laki yang kelak akan berkhidmat di Baitul Maqdis, maka Allah memberinya anak perempuan. Dialah Maryam. Namun mereka tetap membesarkan Maryam dengan pendidikan dan penjagaan terbaik. Pada akhirnya ia terpilih untuk melahirkan salah satu manusia terbaik dalam sejarah kenabian dan umat manusia. Isa ibnu Maryam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selepas Hidayah [SELESAI]
General FictionUpdate setiap Rabu dan Sabtu . Berawal dari langkah yang salah, perjalanan singkat ke tanah Eropa justru membawa Anna pada hidayah. Selepas hidayah, Allah memberinya pula serangkai hadiah. Seseorang yang datang untuk membimbingnya meniti jalan cahay...