Bismillah.
Boleh siapin tisu deh. Part ini mungkin agak sedih-sedih gimana gitu. Dan mungkin juga terasa agak panjang. Jadi tisunya bisa buat ngelap keringet juga :)
***
Langit mulai gelap ketika Mariam tiba di Madrid. Ia tak sempat memperhatikan apapun di Barajas Airport yang begitu padat, tergesa mencari gate berikutnya untuk melanjutkan penerbangan ke Granada. Ia hanya punya waktu 1,5 jam untuk check in, mengurus bagasi, dan boarding. Beruntung, kopernya dan koper berisi benda-benda kesayangan Anna yang dititipkan oleh keluarganya melewati conveyor di awal-awal sehingga ia tak perlu menunggu lama.
Mariam bersyukur masih sempat ambil napas barang sebentar. Ia duduk di ruang tunggu, menghabiskan jus orange yang tadi dimintanya dari kru pesawat. Setelahnya ia berkirim pesan pada Ahmar.
[Assalamualaikum.
Ahmar, aku sudah di Madrid. Adakah yang bisa menjemputku di Federico Garcia Lorca? Pesawatku tiba di sana 8.50 pm.
Tapi tak mengapa jika tidak ada.
Terima kasih]Sementara di seberang sana, Ahmar terbengong membaca pesan Mariam.
"Dia sudah di Madrid?" batinnya bertanya-tanya. Lalu secepatnya berpikir tentang siapa yang akan menjemputnya. Tentu saja dia tak akan membiarkan Mariam keluar sendirian dari bandara di tempat yang asing baginya.
Tepat lima menit setelah tenggorokannya basah, suara panggilan untuk penumpang Air Iberia menuju Granada terdengar. Mariam membereskan ranselnya, mengecek kembali gawainya. Pesan balasan dari Ahmar belum tampak. Ia melangkah terburu, bergabung di barisan antrian menuju pesawat yang akan membawanya ke Granada.
Penerbangan satu jam lima menit berlalu tak terasa. Mariam telah menginjakkan kaki di tanah Granada, bagian dari bumi Andalusia yang menjadi impiannya. Meski alasan keberadaannya di sana tak sesuai dengan cita-citanya.
"Tunggu aku, Anna," batinnya bicara, jemarinya menghapus airmata.
[Waalaikumsalam.
Latifa yang akan menjemputmu di airport. Maaf, nanti kau bisa langsung hubungi dia]Pesan balasan Ahmar yang pertama dibaca begitu gawainya menyala. Ia segera menghubungi Latifa, dan tak sampai satu jam, mereka sudah bersama.
"Sudah malam, kita pulang dulu ke rumah mama," kata Latifa setelah menutup pintu mobilnya. Mariam hanya mengangguk. Sepanjang perjalanan menuju Albayzin, ia hanya sedikit bertanya tentang keadaan Anna, juga bayinya. Sisanya dihabiskan dengan diam. Latifa pun tak ingin banyak bertanya, ia mengerti apa yang dirasakan oleh gadis yang duduk di sampingnya.
Tiba di rumah ibu Ahmar, Mariam bersegera masuk ke kamar tamu usai bersapa secukupnya pada sang tuan rumah. Badannya tak begitu terasa remuk walau menempuh perjalanan selama belasan jam, tetapi hatinya terasa remuk redam atas semua kejadian yang menimpa tiba-tiba.
Bukan merebahkan badan yang pertama kali ia lakukan. Ia justru kembali larut dalam tangisan saat mengedarkan pandang ke sekeliling kamar. Nuansa hitam putih abu-abu yang menjadi kesukaannya, hasil kerja keras Anna sebelum ia jatuh koma. Keadaan yang ia sendiri belum tahu pasti apa penyebabnya selain kemungkinan tekanan darah Anna yang selama hamil selalu di atas rata-rata. Mariam tersedu, hingga memejam tanpa terasa.
***
Pagi tiba, Mariam telah siap untuk bertemu dengan Anna.
"Assalamualaikum, Mariam. Mari kita sarapan dulu, kami menunggumu di meja makan." Sebuah suara terdengar didahului ketukan pada pintu kamar. Suara bariton yang masih sangat Mariam kenal. Ahmar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Selepas Hidayah [SELESAI]
General FictionUpdate setiap Rabu dan Sabtu . Berawal dari langkah yang salah, perjalanan singkat ke tanah Eropa justru membawa Anna pada hidayah. Selepas hidayah, Allah memberinya pula serangkai hadiah. Seseorang yang datang untuk membimbingnya meniti jalan cahay...