29. Pergi

1.8K 340 75
                                    

Bismillah.

***

Melupakan memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Terlebih sosok itu memberi arti yang mendalam, juga menggoreskan sebuah kenangan. Meski jauh dari penglihatan, dan lama tak terlibat dalam pertemuan, namun tetap saja hal tersebut sulit dilakukan.

Bagaimana jika harus melupakan, sedang sepanjang waktu harus selalu bersinggungan? Jelas dan pasti, double beban.

Itulah yang dirasakan Mariam saat ini. Sejatinya dia nyaman berada di tengah-tengah keluarga Señorita Fatima dengan segala kehangatannya. Berdekatan dengan sahabat terbaiknya, juga dengan bayi mungil yang menguasai hatinya semenjak pelukan yang pertama. Pun Latifa, serta mama, yang tetap bersikap hangat dan terbuka, meski tahu ia adalah sebuah lembar yang terselip dalam kitab cinta anak dan menantunya.

Tapi tidak dengan Ahmar. Dalam kehangatan, ia laksana bara yang memercik ke kulit Mariam. Terasa panas dan menyakitkan.

Mariam tentu tak bisa menghindar, begitu pun sebaliknya dengan Ahmar. Juga dengan perasaan yang tersimpan. Meski sekuat tenaga berusaha menekan, tetap saja sulit bagi rasa untuk menghilang tiba-tiba. Manusiawi.

***

Menginjak hari ketiga dari saat Anna meminta Mariam menjadi istri Ahmar. Ia benar-benar tak menyinggung hal itu lagi. Sama sekali. Mariam menjadi nyaman. Ia mendampingi Anna dengan gembira.

Sehari sekali ia memandikan Maira, ia juga yang mengganti popoknya setiap kali bayi lucu itu menangis karena basah atau lembab. Ia telah mahir. Mama yang mengajarinya ketika Anna masih dirawat di rumah sakit.

Mariam juga dengan senang hati mendorong stroller Maira meski hanya mondar mandir di dalam rumah, karena angin musim gugur terasa cukup dingin untuk bayi sekecil Maira. Setidaknya menurut Mariam.

Bergantian dengan mama, Latifa, juga papa Maira, mereka saling mendukung menyayangi Maira dan memberi semangat pada Anna. Walau demikian, Mariam sebisa mungkin menjaga jarak dengan Ahmar. Meminimalisir bahkan meniadakan persinggungan apapun dengannya.

Oee... Oee...

Tangis Maira terdengar. Mariam bergegas memeriksa popoknya. Kering. Maka seperti biasa, ia membawa bayi itu untuk menyusu pada mamanya.

"Ehk...." Mariam berhenti saat melihat Ahmar sedang di dalam kamar bersama Anna. Hendak berbalik, tapi mereka berdua terlanjur melihatnya.

"Ma-maaf. Aku hanya mau mengantar Maira, kelihatannya dia lapar." Bayi cantik itu berpindah ke pelukan mamanya. Mariam terburu keluar. Tak hanya menghindari Ahmar, ia juga berusaha menjaga hatinya agar tidak ambyar.

Membaca buku di ruang keluarga menjadi pilihan Mariam. Belum lama, saat ia melirik pada asal suara tatkala telinganya menangkap suara gesekan roda. Ahmar mendorong Anna, mereka berdua menuju padanya. Mariam tetap berpura-pura membaca, sungguhpun dadanya bergemuruh tak terkira.

"Iam, lagi baca buku apa sih, serius banget," ujar Anna. Nada basa-basi samar terbaca oleh Mariam. Ia sudah sangat kenal sahabatnya.

"Emm, enggak tau. Ada buku di sofa, jadi aku iseng aja buka-buka. Eh, ternyata bahasa Spanyol semua. Nggak paham aku." Anna tertawa.

"Makanya nikah sama orang Spanyol, biar tinggal di sini dan mau gak mau jadi bisa bahasanya."

"Dih, kalo cuma pengen bisa ngomong bahasa lain mah ikut kursus juga bisa, masa iya harus nikah sama orang sini segala. Mau dibawa ke mana deh ini obrolannya." Feeling Mariam mulai tak enak.

"Nggak gitu juga keles." Mencoba melempar canda agar suasana tetap enak.

"Ya tapi kalo ada kesempatan jangan dilewatkan."

Selepas Hidayah [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang