26. Kamar Tamu Rumah Mama

1.9K 332 76
                                    

Bismillah.

***

Jakarta.

Senja selalu menyenangkan, bukan hanya untuk para penyair atau pecinta langit jingga, namun berlaku pula untuk Mariam, setidaknya pada sore itu. Ia menghabiskan waktu dengan menyendiri di area jemuran tempat kostnya. Kepulangannya ke Bogor kemarin membawa kabar tak bahagia. Sebuah fakta menyedihkan tentang kedua orang tuanya.

Di atas bangku kayu panjang, Mariam memeluk lututnya. Matanya menatap nanar pada semburat di sisi barat. Tersenyum sendiri, tatkala mengingat masa-masa Anna masih ada di dekatnya. Saat dilanda sedih begini, mereka akan saling menghibur. Mengisi waktu dengan melakukan hal-hal di luar kebiasaan. Naik mobil tanpa tujuan, mencoba wahana-wahana ekstrem di theme park demi bisa melepaskan teriakan, bahkan nongkrong di tepi rel kereta dan berteriak sekuat tenaga ketika bisingnya kereta melewati mereka. Mariam tersenyum sendiri, jemarinya menyusut guliran bening dari kedua mata.

Adzan maghrib menyadarkannya akan waktu. Meski sedang tak melaksanakan salat, Mariam tetap beranjak ke kamarnya. Teringat pesan ibu saat masa kecilnya di Semarang, 'Maghrib, Nduk. Gek ndang mlebu omah ndak ono sandikala'. Ah, mengingat ibu kembali membuat hati Mariam pilu.

Di kamar hitam putihnya, ia membaca kembali pesan Anna yang diterimanya siang tadi. Mariam menghela napas panjang dan mengembuskan kuat-kuat. Tangannya terkepal menahan nyeri, juga menahan bulir bening yang hendak lolos lagi

[Iam, gak kerasa udah HPL-7 nih. Aku kok deg2an ya. Kmrn ke dokter katanya semua oke, cm tekanan darahku rada tinggi. Ini sih dr awal hamil jg udah gini. Kamu jadi ke sini kan? Sengaja kupilih tiket HPL-4, biar HPL-2 kita bisa jalan2 dulu ke Alhambra. Dari hasil baca2, banyak jalan bisa memperlancar kontraksi saat melahirkan nanti.]

“Maafkan aku, Anna. Rasanya aku tak bisa memenuhi keinginanmu.”

Jemarinya mengetik perlahan, seolah apa yang sedang ditulisnya sebenarnya tak ingin dia sampaikan. Kenyataannya memang demikian.

[Anna, kuharap kau mau memaafkanku. Sepertinya aku tak bisa memenuhi keinginanmu. Tak mengapa ya?]

Tulisan online di sebelah kanan bawah foto profil berganti menjadi typing.

[Heh, kesambet apa sih, ngomongnya gitu amat kek lagi ngomong sama pak erte. Gak lucu tauk!]

[Serah kamu aja deh! Pokoknya kamu ke sini apa gak aku tetep siapin segala sesuatunya sesuai rencana. Ini aja aku lagi nata ulang kamar tamu rumah mama, biar kamu betah. Di sini pada suka warna warni. Tp tenang aja, kamar buatmu mau kuganti dg kesukaanmu. Monokrom.]

Anna membalas pesan Mariam, disusul mengirimkan sebuah foto yang meski dijepret asal hasilnya tetap menunjukkan bahwa si penjepret pandai menentukan sudut pengambilan gambar. Setumpuk kain, beberapa walldecor, tempat tisu, dan perintilan lain yang semuanya bernuansa monokrom. Mariam tergugu. Ia tahu, sahabatnya selalu menganggapnya berarti dan tetap menyayanginya seperti dulu.

Gawainya berbunyi lagi. Sebuah pesan dari Anna lagi. Pesan yang membuatnya tertawa kecil, sendiri.

[Ssstt, kl gak ke sini kamu rugi lho! Aku udah siapin daftar nama mas2 bule soleh dambaan wanita solehah seperti Mbak Mariam Ramadhanti.]

[Eh, yg tourguide macam Ahmar jg ada lho. Kl kamu sama dia, ntar kl suami2 pada pergi kita bisa hengot ke Alcaiceria, dijamin gak bosen liat warna warni pernak pernik di sana. Keliling2 Albayzin sampai puyeng juga gak ngebosenin kok. Ato naik dikit ke Alpujarra. Ah, semua yang kamu cita2in itu lah pokoknya]

[Diem bawel!! Kamu tuh memang teroris, bikin hatiku teriris2]

[Iya makanya ke sini. Biar sekalian kugaremin hatimu yg teriris. Hahaha]

Selepas Hidayah [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang