10 - Janggalnya Hasil Autopsi

128 8 46
                                    

Penginapan, 07.20 WITA

Dua orang pria berseragam keluar dari aula setelah memberi tahu kabar buruk mengenai dua jasad yang tewas mengenaskan kepada turis asal Jepang. Mereka yang baru mengetahui pagi ini, langsung syok mendengar kabar duka itu yang menimpa temannya. Sebagian dari mereka tampak menangis pilu dengan tubuh yang meluruh ke atas lantai.

Begitu pula, sembilan siswa SMU Pelangi yang dikumpulkan di ruangan ini guna mengetahui perkara yang sesungguhnya atas insiden mengerikan semalam. Dari hasil autopsi yang telah polisi kantongi, mereka menyebutkan jika dua turis itu saling membunuh satu sama lain. Bahkan, mereka juga menunjukkan sebilah pisau sebagai barang bukti.

Langit terasa runtuh menimpa Ajeng kala beberapa pasang mata tampak sinis menatap ke arahnya. Mereka seakan tengah menghakimi. Sialnya, runtuhan itu tidak membuatnya terbenam ke dasar bumi. Padahal itulah yang diinginkannya saat ini. Lenyap dari permukaan bumi, karena tidak sanggup dirinya disebut pembohong. Dia tidak pernah berbohong! Ajeng terus meyakini dirinya sendiri jika apa yang semalam dilihatnya adalah benar.

Ajeng menggeleng lemah. "Nggak! Nggak mungkin mereka saling membunuh! Gue lihat dengan mata dan kepala gue sendiri kalau ada banyak cakaran di tubuh mereka. Dan ... gue lihat makhluk itu ada di atas tubuh si laki-laki," ceritanya bergetar.

"Halah! Udahlah, Jeng. Persetan sama makhluk buas yang lo omongin itu! Nyatanya, mereka mati karena saling membunuh, kan? Bukan karena makhluk buas yang cuma ada di dalam imajinasi lo aja!" sindir Rindu kepada Ajeng.

"GUE NGGAK LAGI BERIMAJINASI, NDU!" Ajeng memekik. Dia meremas rok panjangnya, menahan geram.

"Udah, Jeng. Ko tara perlu meladeni ucapan Rindu. Sekarang, lebih baik Kitorang pergi dari tempat ini." Susi merangkul tubuh Ajeng yang bergetar. Menatap sinis ke arah Rindu sesaat, sebelum membantu gadis berjilbab itu berjalan untuk meninggalkan aula.

"Aku percaya sama kau, Jeng," sahut Ardi.

Teddi mengangguk. "Aku juga percaya sama kamu, Jeng."

Kini, semua siswa memilih untuk berkumpul di ruang tamu. Duduk di hamparan karpet, mengelilingi para siswi yang duduk di atas sofa. Sementara, Rindu hanya bisa tersenyum mengejek kala mendengar mereka yang memercayai ucapan Ajeng. Dasar bodoh! Pikirnya.

"Aku yakin banget kalau ini semua adalah permainannya bu Lena." Ardi tidak segan mengutarakan asumsi yang ada di pikirannya kepada teman-temannya. "Kalian bisa tanya Teddi sama Awes, kalau tadi kita lihat bu Lena menyogok dua polisi itu," bebernya. Membuat semua siswa yang mendengarnya, terperangah.

Awes berdesis, "Mungkin nggak, sih, kalau mereka sengaja membuat laporan autopsi palsu?"

"Bisa jadi, Wes. Uang, kan, bisa merubah segalanya. Termasuk orang baik yang berubah jadi jahat," balas Ardi.

Oriza menimpali, "Untuk saat ini, mau nggak mau kita harus percaya sama polisi itu. Karena, kalian bertiga nggak punya cukup bukti buat menjatuhkan Lena."

Para siswa tampak manggut-manggut, menyetujui pendapat Oriza.

Awes mendesah pelan. Dia yakin betul jika masih banyak misteri di pulau ini yang tidak bisa dipecahkan, karena lantaran Lena pandai menutupi semuanya. Termasuk pintu besi digital yang misterius dan juga dinding tinggi nan kokoh yang berdiri di belakang penginapan ini.

Tidak hanya itu, keinginan para siswa untuk keluar dari pulau ini juga harus tertunda, karena hilangnya Happy yang begitu mendadak. Jujur saja, Awes sangat mengkhawatirkan Happy. Namun, Awes tidak tahu bagaimana cara untuk bisa membuka pintu besi digital--yang katanya--hanya profesor Ben yang dapat melakukannya.

Monkeys AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang