12 - Monkeys Attack

114 8 39
                                    

"Ted, masih lama?"

Awes berpindah duduk di samping Teddi. Kepalanya menoleh ke arah layar laptop milik laki-laki bermata empat itu yang justru telah redup. Sementara Ardi sedari tadi memilih duduk dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Teddi menggeleng. "Udah hampir selesai. Saya udah pindahin applikasi bantunya ke ponsel. Sekarang saya teh cuma perlu nunggu loading 100% aja," beritahunya dengan menyodorkan ponsel, memperlihatkan layar yang masih menunjukkan angka 10% kepada Awes.

Seketika netra Awes berbinar senang. "Itu berarti, abis loading ke-100, pintu itu udah otomatis kebuka, Ted?"

Teddi mengangguk diiringi oleh senyum kecil. Melihat hal itu pandangan Awes langsung beralih ke arah Ardi. Mereka tertawa senang.

"Ternyata penantianku selama dua tahun--eh, dua jam tidak sia-sia, Ted." Ardi terkikik. Dia juga menepuk bahu Teddi dengan bangga.

"Kamu kereeen," puji Awes. Mengacungkan ibu jari ke arah Teddi. "Thank's, ya, Ted," ucapnya kemudian.

Teddi mengangguk. Mereka pun tertawa bersama. Sayangnya, kegembiraan mereka tidak berlangsung lama, sebelum lampu lorong yang mendadak padam. 

Jleb !

Ketiganya langsung terbungkam. Hening seketika. Melalui penerangan ponsel milik Teddi, Awes bisa melihat raut wajah Ardi dan Teddi yang tampak terkejut. 

"Alamaak! Kenapa pula mati lampu?" tutur Ardi. Laki-laki itu mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana dan menyalakan cahaya senter sebagai penerangan. 

Sementara kening Teddi tertaut. Benaknya langsung merasakan sebuah firasat buruk. "Tunggu! Bukannya bu Lena teh pernah bilang kalau nggak boleh matiin lampu pas malam hari? Terus, kenapa sekarang malah mati lampu? Siapa yang matiin lampu?" tanyanya dengan nada sedikit cemas.

Mendengar hal itu, Ardi dan Awes sama-sama termangu dan saling bersitatap. "Alamaak! Benar juga apa kata kau, Ted. Si sipit mati karena matiin lampu, kan?" Ardi bergegas bangkit. Lalu, menatap serius dua temannya itu. "Kalian tunggu di sini! Aku mau cari saklar buat hidupin lagi listriknya. Aku tidak mau mati mengenaskan kayak si sipit," cetusnya kemudian.

Ardi mulai melangkah untuk meninggalkan lorong, tapi langkahnya harus terhenti saat mendengar interupsi Awes. 

"Tunggu, Ar!" lontar Awes.

Ardi kembali membalikkan tubuh. Matanya melihat Awes yang telah bangkit dengan menatapnya lamat-lamat. Kemudian, laki-laki itu meletakkan jari telunjuk di ujung pangkal hidungnya.

"Ssstt ... kalian dengar suara itu?" tanya Awes dengan mengedarkan pandangan ke arah dua temannya.

Layaknya serigala telinga Teddi dan Ardi mengacung naik mendengarkan. Samar-samar di tengah bisingnya suara hujan, mereka bisa mendengar kerihan sekawanan monyet yang saling bersahut-sahutan. Namun, beberapa menit setelahnya bunyi itu berganti oleh jerit histeris seseorang. 

"Arrrggghhhh!"

Mereka tercekat. Matanya sama-sama membeliak, seakan mereka tahu apa yang tengah terjadi. Teddi pun buru-buru menyimpan ponsel ke dalam saku celana. Kemudian, menutup laptop dan memasukkannya ke dalam ransel. Dia bangkit sembari menggendong tasnya.

"Kita harus ke sana!" titah Teddi dengan segera berlari untuk menghampiri sumber suara.

"Tunggu, Ted!"

Langkah Teddi terhenti. Menoleh ke belakang dan menemukan Awes yang tengah menghampirinya.

Awes menepuk bahu Teddi. "Biar aku aja yang lihat," katanya. Dia menoleh ke arah Ardi di belakang. "Kalian tunggu di sini," pinta Awes kepada keduanya.

Monkeys AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang