18 - Lima Tahun Silam

48 5 15
                                    

2020

Hutan Dream Island, Kalimantan Selatan, 15.15 WITA

•••••

LOILA berdiri di pembatas pagar kapal ferry eksekutif yang ditumpangi bersama empat orang teman sekelasnya. Menikmati semilir angin laut yang menerpa wajah mereka. Sementara Loila tersenyum kala rungunya menangkap suara cericip burung-burung yang tengah bernyanyi merdu. Burung-burung itu terbang bebas di angkasa, tepat di atas kepalanya. Manik Loila juga mengikuti gerak hewan itu yang terbang menuju ke arah sebuah pulau yang tertutup kabut, berjarak sekitar 500 meter dari hadapannya.

"Ayo, cepat siap-siap! Sebentar lagi kita sampai!" sahut Friska antusias. Gadis berambut panjang itu buru-buru masuk ke dalam kapal dengan senyum terbit di bibir.

Loila turun dari kapal dengan ransel di punggung. Sementara empat temannya yang terdiri dari; dua laki-laki dan dua orang perempuan, mengekori Loila di belakang. Pantai dengan pasir berwarna putih serta hutan dan juga pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi, menyambut kedatangan mereka di pulau.

Para siswa pun mulai melangkah meninggalkan bibir pantai setelah kapal ferry yang bertuliskan 'SMU Juara' telah kembali berlayar. Langkah mereka masuk menyusuri hutan yang berjarak dua puluh meter dari bibir pantai. Tujuan mereka saat ini, ialah untuk melakukan perkemahan.

Manik Loila menyusuri hutan, di mana saat ini terdapat deretan pohon-pohon pinus yang tumbuh di sekelilingnya. Belum lagi pekat kabut yang mengepung, membuat suhu udara jadi terasa dingin. "Kalian yakin mau kemah di sini?" tanya Loila sedikit ragu.

Namun, pertanyaan itu justru menimbulkan gelak tawa dari teman-temannya. "Kenapa? Lo takut, La?" ledek Mario. Laki-laki itu memimpin jalan di depan.

Loila berdesis sembari mengusap kedua bahunya. "Gue nggak takut!" sanggahnya cepat.

"Eh, tapi tunggu, deh!" Kali ini Fani yang berjalan di samping Loila, menyahut. "Gue denger-denger, bukannya kita nggak boleh masuk ke hutan ini, ya? Katanya, mereka yang masuk ke sini, nggak ada yang bisa keluar lagi."

"Hahaha ... lo percaya sama omongan mereka?" Friska tertawa. "Lagian itu cuma mitos aja kali," ungkapnya kemudian.

Fani bergidik, "Percaya nggak percaya, sih."

Dimas yang menjabat sebagai ketua OSIS terkekeh mendengar perdebatan kecil di antara teman-temannya. Membenarkan tali tas gitar yang sedikit melorot di bahu, sebelum menimpali ocehan mereka. "Udah, ah! Nggak usah pada ribut! Pokoknya kita ke sini buat berkemah." Dia menjeda sesaat ucapannya. Menoleh sekilas ke belakang sambil tersenyum. "Dan bersenang-senang," lanjutnya.

Mereka pun terus berjalan memasuki hutan. Mencari tempat yang nyaman untuk mendirikan tenda. Hingga sampailah mereka di tepi sungai. Berdiri dengan manik mata yang takjub mendapati air sungai yang begitu jernih, hingga sampai warna-warni lumut di dalamnya terlihat.

Sore merangkak malam. Awan hitam menyelimuti megahnya sang cakrawala. Sesekali bias hias kilauan kilat petir manyambar. Angin dingin pun berdesir tanpa permisi. Kendati begitu, para siswa tidak peduli. Mereka asyik saja bernyanyi sembari diiringi oleh petik senar gitar. Ditemani nyala api unggun yang menjadi penghangat diri. Sayangnya, mereka tidak menyadari jika ada banyak pasang mata yang tengah mengawasi dari atas dahan pohon.

"Aaah, hujan!"

Tiba-tiba hujan mengguyur deras.

Api unggun padam seketika. Semua siswa kalang kabut. Mereka bergegas berlari ke arah tenda untuk melindungi diri supaya tidak kuyup oleh hujan.

"Ah, jaket gue basah," keluh Loila seraya melepas jaket yang basah, lalu disampirkannya ke dinding tenda.

"Isshh ... kenapa mesti hujan, sih? Kan, nggak asyik." Friska menggerutu kesal. Gadis itu melepas cepol rambut yang basah dan mencoba mengeringkannya dengan handuk.

Monkeys AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang