7 - Sebuah Ancaman

194 15 69
                                    

Penginapan, 00.00 WITA.

MALAM ditemani oleh gemerlap bintang dan juga rembulan. Keduanya memancarkan sinar indah di atas cakrawala. Namun, tidak ada satupun para siswa yang berniat untuk menikmati keindahan malam yang selalu bergulir mengikuti keteraturan. Meski telah jatuh pada gigil yang menusuk, keheningan masih setia menemani mereka yang bergelung dengan pikiran semrawut masing-masing di ruang tamu. Bahkan, rasa kantuk tidak dirasakan, akibat terlalu ngeri hanya dengan membayangkan kejadian malam ini.

Happy terdiam di atas sofa, memasrahkan kepalanya pada sandaran kursi. Gadis itu diam karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Walaupun manik matanya terpejam, tetapi pikirannya menerawang jauh. Pikirannya terlalu abstrak memikirkan jalan keluar yang sekarang terlihat seperti sebongkah benang kusut.

Hingga tidak lama setelahnya, kelopak mata Happy terbuka. Menegakkan kepala, sebelum mengutarakan sebuah usulan kepada teman-temannya.

"Kita harus pergi dari pulau ini!" Bagai blitz paparazi yang menyilaukan ketika belasan pasang mata menatap penuh ke arah Happy.

"Kita nggak tahu hewan apa yang mereka sembunyikan di balik dinding itu, sampai bisa menghabisi dua nyawa sekaligus," lanjut Happy lagi.

Mendengar usulan dari Happy, panas pada kepala Ajeng yang nyaris beruap sejak tadi, serasa disiram dengan air yang sudah disimpan setahun lamanya. Nyess! Namun, harus kembali menggelegak kala Rindu menyahut.

"Kenapa kalian semua terprovokasi sama ucapan Teddi?" Gadis yang berprofesi sebagai model dan aktris itu mengutarakan ketidaksetujuannya. "Belum tentu juga, kan, kalau di balik dinding itu ada hewan buas? Lagian, kalian tahu darimana kalau turis itu mati akibat hewan buas? Bukannya Ajeng bilang sendiri kalau ruangan gelap dan dia nggak bisa lihat dengan jelas? Bisa aja, kan, dia salah lihat! So, mungkin aja mereka mati karena saling membunuh," hipotesanya.

Bagi Rindu, ucapannya barusan lebih masuk akal daripada asumsi semua teman-temannya yang terdengar tidak logis. Hewan buas di pulau yang indah seperti ini? It's impossible. Pikirnya. Jikalau pun ada, sudah pasti pemerintah tidak akan memberi izin pemilik konservasi untuk melanjutkan pengembangan pada pulau ini, bukan?

Darah Ajeng bergejolak, antara menahan emosi karena merasa direndahkan oleh Rindu. Sama halnya dengan Teddi. Namun, memilih menarik napas dalam-dalam untuk menetralisir amarah. Sementara, ruangan sontak bergemuruh bak sarang lebah yang disatroni beruang madu. Mereka saling mengeluarkan asumsi, berdebat satu sama lain.

"Oe rasa ucapan Rindu benar. Lu olang salah lihat, Jeng."

"Gue kagak salah lihat, Bob!"

"Ko tra usah dengarin Rindu, Jeng."

Telinga Oriza terasa panas ketika mendengar bisingnya suara. Lalu, menggeram, "STOP!" Suaranya menggelegar, yang detik itu juga berhasil menghentikan perdebatan di antara teman-temannya.

"Kita buat polling aja! Biar kita bisa tahu siapa aja yang masih mau tinggal dan siapa aja yang mau pergi dari pulau ini," usul Oriza. "Gue milih pergi dari pulau ini!" tegasnya kemudian.

Sesaat kebekuan melingkup dan tidak ada satupun yang berinisiatif membuka suara, hingga Ajeng pun mengangkat tangan kanan ke udara. Lalu, berkata, "Gue ikut Happy."

Mata sembap Ajeng menatap ke arah gadis yang menggulung rambut di atas kepala dengan menggunakan pengikat rambut pompom berbentuk boneka kelinci yang lucu. Gadis itu duduk di seberang sofanya. Setelah itu, beralih menatap Rindu. "Pergi dari pulau ini," lanjut Ajeng lagi.

Teddi berdehem sebentar, menetralisir serbuan kata-kata yang tersendat di tenggorakan. Lalu, juga mengangkat tangan kanannya ke udara. "Saya teh juga mau pergi dari pulau ini," tuturnya. Setelah itu, diikuti oleh empat temannya yang lain, yang juga memilih meninggalkan Dream Island.

Monkeys AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang