17 - Monkeypox

56 8 23
                                    

SENJA nyaris berakhir. Langit yang berwarna perpaduan antara jingga dan ungu, kini berubah menjadi gelap, karena cahaya bulan dan bintang berhasil dikalahkan oleh sinar cahaya lampu yang mengelilingi sebuah bangunan tua.

Dari balik kaca yang transparan, Awes memandang Rindu yang terbaring dengan mata tertutup di atas ranjang. Gadis itu tampak lemah dengan wajah yang ruam dan pucat pasi. Sementara luka pada bagian tangan dan kaki yang terkena gigitan, terlihat muncul beberapa benjolan kecil yang disertai cairan berwarna kuning.

Loila melepas sarung tangan dan masker medis ke tempat sampah. Lalu, keluar ruangan dan berdiri di samping Awes. Dia mengembuskan napas sesaat, sebelum berucap dengan manik tertuju ke arah Rindu. "Suhu tubuhnya masih tinggi. Aku udah ngasih obat penurun panas. Aku harap demamnya turun."

Awes mengangguk lesu. Entah penyakit menular apa yang tengah diderita oleh temannya itu, hingga harus berada di ruangan yang berbeda. "Apa penyakitnya parah?"

Loila menatap Awes. "Aku menduga kalau Rindu terkena monkeypox."

"Monkeypox?"

Loila mengangguk. "Cacar monyet. Gejala yang muncul mirip-mirip kayak cacar air. Bedanya, cacar monyet disebabkan oleh infeksi virus monkeypox, dan cacar air disebabkan oleh infeksi virus varicella zoster. Cara penularannya juga beda. Kalau monkeypox penularannya lewat gigitan atau cakaran hewan yang terkontaminasi, kalau cacar air lewat kontak langsung sama penderita atau droplet orang yang terinfeksi," jelasnya panjang lebar.

Mendengar penjelasan dari gadis itu, sejenak Awes terpegun. Dia pun menatap tangan kanannya yang masih dilumuri oleh lumut organik berwarna hijau. "Cakaran? Itu berarti aku juga bakalan kena monkeypox?" tanyanya panik.

Kali ini, Loila menggeleng. "Aku nggak tahu. Aku ngerasa ada yang janggal. Kalau monyet-monyet itu memang terinfeksi virus monkeypox, seharusnya kamu dan yang lain juga bakalan mengalami gejala seperti Rindu. Tapi, anehnya kalian nggak merasakan apa-apa, kan?"

Awes mengangguk, membenarkan. "Terus apa penyakit Rindu bisa disembuhkan?"

Kali ini, Loila menggidikkan bahunya. "Yang aku tahu, belum ada obat spesifik buat menangani cacar monyet. Tapi, ada kasus di negara Singapura sana di mana orang yang terkena cacar monyet harus dikasih vaksin smallpox. Sayangnya, di tempat ini nggak ada vaksin kayak gitu."

"Dengan kata lain Rindu nggak bisa disembuhin?"

Loila tidak langsung menjawab pertanyaan laki-laki itu. Dia menatap wajah Awes yang tampak sendu. Lalu, mengembuskan napas beratnya, sebelum memberikan jawaban. "Aku nggak bisa berbuat apapun, Wes. Aku cuma bisa berharap Tuhan ngasih mukjizat berupa kesembuhan buat Rindu."

Awes tertunduk lesu. Dadanya terasa teriris, perih, mendengar kabar duka itu. Sungguh, jika boleh jujur dia tidak ingin ada lagi nyawa yang melayang akibat perbuatan monyet sialan itu.

Awes mendongak. Menatap gadis berkulit sawo matang di hadapannya. "Ngomong-ngomong, gimana Kak Loila bisa tahu tentang penyakit itu? Apa Kak Loila ini seorang dokter?"

Loila terkekeh. Dia menggeleng. "Aku bukan dokter, Wes. Selama ada di tempat ini, aku belajar banyak hal tentang spesies primata dan juga berbagai macam virus lewat buku tebal itu." Dia menunjuk sebuah buku yang ada di atas nakas, di dalam ruangan.

Pandangan Awes pun mengikuti arah jari telunjuk Loila. Dia mengangguk paham. "Ngomong-ngomong ...." Matanya beralih ke gadis itu. "Ini tempat apa, Kak?" tanyanya.

Mendengar pertanyaan Awes, Loila tertawa. "Emangnya Happy nggak ngasih tahu kamu?" Dia malah balik bertanya. Sementara Awes hanya menggeleng.

"Bangunan ini dulunya adalah laboratorium," terang Loila kemudian.

Monkeys AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang