14 - Behind The Wall

79 7 22
                                    

Klek !

PERLAHAN pintu berderit dan terbuka.

Netra Rindu terbelalak. "Pi-pintunya kebuka!" beritahunya gagap.

Ardi menoleh ke belakang. "Cepat, masuk! Cepat!" titahnya sembari melangkah mundur dengan ponsel yang masih bersinar terang. Mereka semua pun bergegas memasuki pintu.

Begitu pula, Awes dan Teddi yang berada di barisan terdepan, juga hendak ikut mundur seiring dengan cahaya ponsel yang mengikuti pergerakan mereka. Namun, semakin mundur, justru makhluk-makhluk itu bergerak maju. Membuat keduanya panik bukan main dan buru-buru membalikkan tubuh.

Namun, mendadak sorot penerangan pada layar ponsel mereka mati. Kehabisan daya. Seketika gelap gulita. Detik berikutnya, pekikan histeris mereka pun terdengar dan menggema di ruangan.

"AAARRGGHH ...."

Secepat kilat satu persatu dari sekawanan monyet itu melompat dan menyerang mereka. Teddi berusaha menyingkirkan makhluk-makhluk itu yang bertengger di belakang tubuh dengan kedua tangan. Sementara Awes, iris matanya telah beradaptasi dengan gelap, lalu mengibaskan gitar ke arah hewan-hewan itu yang mencoba melompat ke arahnya.

"Dasar monyet!" umpat Teddi geram seiring melepas ransel bersamaan monyet yang masih mencengkeram erat di sana. Kemudian, melemparkannya kuat ke depan. Layaknya bola bowling, tas ransel Teddi berhasil mengenai beberapa monyet yang ikut terlempar jauh.

"Ted, cepat masuk! Mereka semakin banyak!" titah Awes panik dengan masih memukul monyet-monyet itu dengan gitar. Langkahnya mundur bersamaan dengan Teddi yang telah berhasil memasuki pintu.

Awes memilih untuk melempar gitar kesayangannya begitu saja ke arah depan hingga mengenai beberapa ekor monyet. Namun sayang, monyet-monyet itu kian bertambah banyak. Mereka berlari diiringi suara-suara kerihan yang terdengar begitu menyeramkan, menggema di lorong sempit ini. Kini, netra Awes harus terbelalak lebar saat melihat sekawanan monyet yang tengah melompat dan hendak menyerangnya. Saat yang sama, seonggok tangan mencengkeram tengkuk jaket dan menariknya kuat ke belakang. Dan ....

Buuggh !

Bokong Awes membentur tanah berlumpur seiring dengan pakaiannya yang perlahan kuyup. Pintu digital pun tertutup rapat bersambut oleh suara benturan monyet-monyet itu dari balik pintu. Tubuh Awes membeku seketika. Tadi itu begitu mengerikan, pikirnya.

"Lo nggak apa-apa?"

Interupsi Oriza menyadarkan lamunan Awes. Maniknya menatap Oriza di samping. Kemudian, menggeleng dan berusaha bangkit. "Thank's, Za," ucapnya.

Awes membalikkan tubuh. Namun, kini tercengang dengan tubuh yang kembali mematung ketika melihat pemandangan di hadapannya. Meski gelap, tetapi Awes bisa melihat sebuah hutan belantara yang dikelilingi oleh kabut dan pohon-pohon menjulang tinggi, terhampar luas di hadapannya. Belum lagi hujan yang mengguyur, menjadikan suhu udara terasa begitu dingin hingga menggerogot sampai ke tulang.

"BUKA PINTUNYA!" Raja memekik sembari menggedor pintu digital yang telah tertutup rapat dengan keras. Berkali-kali, mencoba membuka, tetapi gagal.

Sayangnya, kegaduhan yang Raja buat, berhasil menghidupkan hutan Dream Island. Pepohonan yang tenang kini seakan bergerak dan menghasilkan suara gemeratak dari dahannya. Tidak hanya itu, suara kerihan monyet serta suara hewan-hewan malam pun turut saling bersahutan. Membuat kepanikan kembali menguasai mereka.

"JA, STOP, JA!" gertak Oriza dengan menyingkirkan tubuh Raja yang telah kuyup oleh air hujan dari depan pintu.

Tidak mau kalah, Raja yang tidak suka diperintah, mendorong tubuh Oriza ke belakang. "LEPASIN! GUE NGGAK MAU MATI DI SINI!"

Monkeys AttackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang