Part 2 : Gavariel Hoshe Ivander

56 21 3
                                    

Gavariel Hoshea Ivander



.


.



Kekuatan Tuhan, sang penyelamat, lelaki terbaik. Itu namaku, artinya sangat membanggakan dan membuar siapa pun pasti berpikir aku adalah orang yang sangat luar biasa dan titipan Tuhan. Tapi, orang tak bisa menilai seseorang dari nama.



Aku berdiri di atas sebuah jembatan panjang. Lautan begitu luas, beberapa kapal juga terlihat berlalu-lalang dan membunyikan klakson mereka tanda keberangkatan. Hal itu membuat sunyinya malam menjadi sedikit beriak.



Seperti yang dijanjikan. Mereka menungguku malam ini, tepat di jembatan kota Gramed, dan aku sudah berada di sini sejak dua puluh menit yang lalu. Dan, ya, benar saja, mereka belum ada yang datang sama sekali.



Dua hari yang lalu, adikku, Hans, dipukuli. Dia masih SMP dan sudah dikeroyok karena anak-anak SMA-ku memintai mereka uang. Padahal, mereka semua orang kaya, tapi entah kenapa mereka menindas yang lebih lemah untuk mendapatkan apa yang sebenarnya mereka sudah miliki.



"Benar, kau Gavariel?" Aku berbalik.



Lima orang bertampang sangar dan penuh meremehkan itu menatapku miring. Mereka sudah datang, dan akulah yang meminta mereka ke sini.



Berkat mereka, Hans dirawat di rumah sakit, dan harus menjalani perawatan intensif dan harus menginap. Apa mereka tidak berpikir sampai sejauh itu?



"Ya, ini aku ...." Tatapan dinginku sudah pasti membuat mereka merinding.



Rambut hitam kelamku tersapu angin, mataku menatap mereka satu per satu. Ini saatnya pembalasan, membalaskan apa yang telah mereka lakukan pada saudaraku.



"Hajar!" teriak salah satu dari mereka.



Aku tenang. Masih menatap mereka tajam. Mereka tak akan pernah bisa melawanku. Kurasa cukup kutunjukkan pada mereka sebelum mereka mati. Ah, kau tahu aku tak sekejam itu.



"Blood Field!"



wTEENGG!



Lonceng gereja berbunyi, dan mereka sudah membatu di tempat. Mata mereka melotot dan keringat bercucuran dari pelipis mereka. Aku juga melihat ada air liur yang menetes karena ketakutan dan berusaha melawan.



Satu detik.



Dua detik.



Tiga detik.



Huueekk!



Pimpinan mereka muntah. Bukan muntah sembarangan yang mengeluarkan sisa makanan atau hanya cairan. Dia muntah darah, dan yang lainnya hanya bisa membatu di tempat dengan tubuh yang masih saja membatu.



Tanpa kusadari, satu orang muncul dari belakang, dia menyergapku dan satu pukulan berhasil mendarat tepat di dekat mataku.



Perih. Aku meringis, konsentrasiku seketika buyar dan menyebabkan kelima orang itu kembali bisa bergerak Pimpinan kembali tumbang, karena banyak kehabisan darah.



"Tahan dia!"



Benar-benar pertarungan yang curang.



.


.


.


.



Pagi ini aku terbangun lagi di jalanan. Pakaian compang-camping, wajah babak belur dan pastinya mata yang membiru dan bengkak. Apa yang terjadi denganku semalam?

Alluring Secret [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang