Dia berkata dia adalah Athena. Seorang dewi dari Olympus yang turun dan berusaha untuk membantu kami. Ah, mungkin untuk penyembah tuhan sepertiku sangat sulit untuk mempercayainya. Karena kami percaya Tuhan itu ada, bukan Dewa atau Dewi.
Dari kecil aku selalu diajari untuk menyembah di gereja. Dengan lantunan nyanyian syahdu dan alat musik. Sekarang, aku malah bertemu dengan sesuatu yang dinamakan dewa. Kepercayaanku akan dikemanakan sekarang?
Setelah kami berdiskusi, aku dan Qia memutuskan untuk pergi. Aku tak menceritakan apa yang aku alami, dan Qia pun demikian. Dia hanya berkata jika kami bukan manusia, dan kami harus pergi. Aku setuju. Karena aku sudah tahu semuanya.
Punggungku membawa tas berisi banyak sekali makanan dan beberapa pakaian. Sangat berat mungkin jika dibawa seorang perempuan. Tapi, aku adalah laki-laki tak bisa mengatakan kata lelah itu, bukan?
Dewi Athena yang tadi aki ceritakan menuntun kami. Kabut asap yang awalnya tipis sekarang semakin membesar. Aku segera berusaha untuk menggapai dan menggenggam tangan Qia lebih erat.
“Jangan takut,” bisikku padanya.
Dia mengangguk tipis dengan ekspresi wajah yang tak bisa diartikan. Kami sama-sama melakukan perjalanan tak tentu arah sekarang. Tapi, memiliki tujuan. Meninggalkan keluarga, teman-teman dan semuanya yang ada.
Kabut itu perlahan menghilang. Bersamaan dengan Dewi Athena yang tadinya menuntun kami. Kemana dia? Aku tak tahu sama sekali.
Tanganku masih menggenggam tangan Qia erat. Aku merasa aku tak boleh melepaskan tangannya, karena jika aku lepas aku merasa ada sesuatu yang akan terjadi.
“Di mana ini?” tanya Qia menatap gurun di sekitarnya.
Ini tanah gersang, aku tak melihat tumbuhan sama sekali. Ada juga gunung-gunung yang tidak terlalu tinggi di kiri dan kanan kami. Seolah-olah membentuk barisan untuk melindungi sesuatu.
“Sepertinya kita harus terus berjalan ke depan, aku harap gunung yang kita cari bisa berada di sana,” ucapku menunjuk ke arah depan—yang masih saja terdapat hamparan gurun.
Aku mulai melangkah. Masih dengan tangan yang menggandeng Qia. Dia pun terlihat seperti tidak mau melepaskan tanganku. Entahlah.
“Tunggu dulu.”
Suara Qia menghentikan langkahku yang berjalan satu langkah di depan.
“Kenapa?” tanyaku.
Qia diam tak menjawab pertanyaannku. Dia kemudian melirik kiri kanan, ke arah gunung-gunung gersang yang mengelilingi kami.
“Ada apa?” tanyaku lagi.
“Aku merasa ada sesuatu yang memperhatikan kita,” jawabnya setengah berbisik.
Aku mundur, berusaha menyetarakan posisi dengannua sekarang.
Ini wilayah asing, dan kami baru saja sampai di sini. Jika kami diserang atau dapat masalah, siapa yang nantinya akan membantu kami? Tak ada yang tahu bagaimana nantinya.
“Tetap di belakangku,” ucapku pada Qia sembari memunggunginya.
Dia terlihat mengangguk singkat dengan mata yang waspada menatap sekeliling. Kami ada perasaan, jika kami nantinya akan diserang.
Sudah berapa lama kami kenal? Dan kenapa kami sampai seperti ini sekarang. Aku yang pembuat masalah, dan dia dewi di sekolah. Sesuatu yang sama sekali tidak bisa kami tebak sebelumnya. Akupun demikian, ini terlalu membuatku kaget dan tidak sadar apa yang aku lakukan sekarang.
Samar, aku mendengar suara burung dari atas langit. Kami bersamaan menoleh ke atas, melihat seekor burung terbang di atas sana dengan sayapnya yang lebar.
Bukan, bukan burung, makhluk itu tak pantas disebut sebagai burung. Dia memiliki kepala manusia! Seorang wanita!
Akh! Apa-apaan itu?! Makhluk aneh apalagi yang sekarang harus kami hadapi dan kami lawan? Kenapa harus seperti ini hidupku! Biarlah aku hidup dalam bullyan dan kekerasan, namun tidak hidup seperti ini, aku tak bisa.
“Variel awas!” teriak Qia tiba-tiba yang membuatku tersadar dari lamunanku.
Namun, terlambat sesosok makhluk itu menyambarku. Bersamaan dengan datangnya makhluk lain yang mengiring di belakang.
“Variel!” teriak Qia panik.
“Sial! Bantu aku!” balasku balik berteriak ke arah bawah.
Dari atas sini, aku bisa melihat gunung yang dimaksud Sirens itu. Aku melihat sebuah gunung yang subur menjulang tinggi di ujung sana. Berbeda dengan keadaan yang lainnya. Di sana terlihat aman dan damai.
Mataku kembali menatap Qia yang berada di bawah mengejarku. Dia terlihat mulai berusaha mengeluarkan sayapnya kembali. Ah, dia bisa saja kehabisan tenaganya nanti! Sial! Aku jadi khawatir.
“Jangan terbang! Kau bisa kehabisan tenaga!” bentakku.
Sepertinya dia mendengar. Tapi sama sekali tak menghiraukan ucapanku. Dia malah semakin tinggi sekarang dengan sayap putihnya yang indah. Aku akui, dengan wujud itu dia terlihat menawan.
“Keh ... keh ... keh .... Gadis itu akan menjadi makanan kami, dan kau juga,” ucapan burung ini membuatku kaget.
Dia bisa berbicara. Ah, tentu saja dia adalah Harps, dari buku-buku yang kubaca dia adalah separoh burung dan separoh manusia. Sungguh makhluk yang sangat aneh. Kenapa Tuhan menciptakan dia?
“Kau iblis?” tanyanya padaku.
Aku menherutkan dahi. Seraya berusaha menggerakkan kedua tanganku yang diapitnya. “Sejak kapan aku menjadi sekte iblis?” bentakku.
Dia hanya terkekeh ringan kembali. Aku hanya bisa diam dan menatap dengan kesal. Tentu saja apa yang dikatakannya membuatku sangat tidak nyaman.
Blood ...
“Akh!”
Harp yang memegangku kehilangan keseimbangan. Dia oleh dan melepaskan cengkramannya dariku. Ah, sial! Andai aku punya sayap!
Sruhh
Tepat seperti dugaanku, Qia datang dan menangkat tanganku. Dia memegang bahuku kemudian dan membawaku terbang menjauh dari mereka.
Satu tumbang di bawah sana. Dan yang lainnya masih mengejar kami. Totalnya semua ada 8 makhluk. Qia berusaha mempercepat kepakan sayapnya, hingga jarak kami dengan mereka cukup jauh.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya padaku.
Aku hanya berdehem ringan. Berusaha bersikap tidak apa-apa. Padahal aku merasakan kedua bahuku gores karena cengkraman makhluk jahannam itu. Tapi, aku bukan laki-laki yang lemah.
Harps itu sudah menghilang. Qia berusaha turun, dia melihat ke arah kedua lenganku.
“Kau terluka,” ucapnya tiba-tiba. “Buka bajumu,” ujarnya.
Buka baju? Yang benar saja! Aku hanya berdua dengannya kali ini. Namun, aku mematuhi, tujuan kita sama, jadi hanya sebatas teman untuk membantu.
Tapi, entah kenapa, saat dia mengompres lukaku dan memberi obat anti kuman. Aku merasakan hatiku bergejolah cepat, jantungku berdegup kenjang. Oh, Tuhan ada apa ini!
Keringat mulai membasahi pipiku. Melihat wajah manisnya dari dekat ini benar-benar membuatku tak karuan. Dan sialnya, tiba-tiba saja dia menatap wajahku dalam.
Wajah kami hanya berjarak 5 cm, dan Tuhan, aku tak bisa menahannya. Aku akui, aku masih anak sekolah yang butuh belajar. Tapi, jangan salahkan jika cinta tumbuh disaat seperti ini.
“Ada apa?” tanyanya halus, benar-benar membuat darah ini semakin mendesir.
“Diamlah,” bisikku lembut.
Dengan perlahan dan setengah sadar, aku mendekatkan wajahku pada wajahnya. Aku masih menatap matanya yang masih terpejam. Tangannya berhenti meraba bahuku, namun masih tetap berada di sana.
Aku minta maaf jika nantinya akan terjadi masalah di antara kita berdua. Namun, apa salahnya jika kita menamkan rasa, toh kita memang harus tetap bersama sampai kebenaran terungkap. Jangan heran, aku menyukainya.
Sekarang, aku bisa mencium bau nafas harumnya, dan hembusan yang lembut. Aku juga berusaha mengatur nafas agar tidak terlihat takut.
Tangannya meraih dengkulku. Aku ikut memejamkan mata, dan hingga akhirnya, bibir kami menyatu. Entah untuk berapa lama.
Ini, ciuman pertamaku, dan aku akan memulainya dari sini. Menyukai dia, dan akan menjaganya sampai nanti.
Tak peduli jika nantinya akan terjadi bencana. Dia adalah milikku sekarang. Walaupun terlihat tidak cocok, antara sang dewi dengan rakyat jelata. Aku akan tetap memilikinya.
.
.
.
TBC
By : @Thika_Nao1
KAMU SEDANG MEMBACA
Alluring Secret [END]
FantasyStory by : Nao Tan and Rashy Quila [TAMAT] ✓ Hubungan antara malaikat dan iblis sangatlah terlarang ada di dunia. Namun kasus seperti ini sering kali terjadi dan terus terulang. Anak dari hubungan ini harus terasing dan hidup di dunia manusia, dan s...