Part 10 : Siapa kau? Siapa aku?

40 16 7
                                    



Tubuhku seakan merinding. Tatapan mata ratusan orang benar-benar membuat terintimidasi. Bagaimana tidak? Mereka semua menatapku yang berjalan berdua dengan Qia saat memasuki gerbang sekolah.

Seorang Dewi cantik dengan sejuta penggemar berjalan dengan seorang pemulung yang biasanya hanya duduk di tepi jalan untuk meminta sedekah seseorang.

Ah, aku tahu itu berlebihan, tapi begitulah kira-kira pengibaratan antara kami berdua.

Aku teringat apa yang dikatakan papa Qia semalam. Dia awalnya memang sangat marah denganku karena seenaknya membawa anaknya tanpa izin dari dia sendiri. Tapi, mau bagaimana lagi, memang keadaan yang menyebabkan kami harus demikian.

"Sst ... Kenapa tiba-tiba Qia bersama laki-laki itu? Bukankah dia si pembuat onar?"

Satu bisikan membuatku melirik ke arah suara. Seperti biasa, orang-orang yang syirik dan tidak suka dengan keadaan yang mereka lihat. Banyak kecemburuan sosial yang terjadi di sini. Dan aku? Aku hanya bisa berdiam diri dan berjalan, supaya terlihat biasa.

Sebelum berangkat sekolah tadi, penjaga setia Qia berkata padaku agar aku dan Qia nantinya pulang bersamaan. Tidak boleh berpisah. Hei ... memangnya aku penjaganya apa?

Hari berlalu dan tanpa sadar bel sekolah pun berbunyi. Tidak hanya di depan gerbang tadi aku mendapatkan tatapan sinis dari mereka. Tapi, di kelas ini juga. Mereka semua menatapku jijik seolah-olah aku adalah seorang penjilat.

Aku menunggu Qia.

Ya, lebih tepatnya menunggu dia berjalan di depan kelasku, baru aku akan menyusulnya. Jika aku menyusulnya ke kelas, tatapan dan cacian yang lebih banyak lagi akan mendarat mulus di telingaku. Aku sama sekali tak mau hal itu terjadi.

Sekolah mulai sepi. Tapi, Nona itu sama sekali belum muncul. Butuh waktu berapa jam bagi dia untuk berkemas dan memasukkan semua buku ke dalam tas?

Atau dia ada masalah?

Sekelebat bayangan hari yang lalu muncul di kepalaku. Kami memang berhasil membunuh anjing berkepala tiga itu. Hanya saja ... kami tak tahu apakah masih ada musuh yang lainnya.

Aku membayangkan adegan film-film fantasi yang sering kutonton. Seorang yang mendapat masalah satu kali, akan mendapatkan masalah itu terus menerus sebelum mereka mencapai titik masalahnya.

Ada yang musuhnya menyerang teman mereka. Membunuh orang-orang sekitar. Atau menyandra keluarga mereka. Aku tahu pikiran itu gila. Namun, tetap saja itu ada di pikiranku.

Aku menginap di rumah Qia tanpa sepengetahuan Bapa ada Suster. Mereka pasti mencariku. Karena memang biasanya aku kalau menginap di rumah teman, aku akan mengabari mereka sebagai orang tuaku.

Qia masih belum terlihat.

Akh, ini benar-benar membuatku kesal. Haruskan aku menuju ke kelasnya untuk menemuinya? Padahal dia nantinya juga akan melewati jalan ini.

Tak ada pilihan lain. Aku terpaksa dengan sangat menyusul ke belakang. Sekolah sekarang benar-benar sudah sepi. Bahkan, aku tak melihat yang lain lagi.

Luna dari tadi sudah berangkat untuk pulang. Dia sepenuhnya percaya padaku untuk menjaga Qia. Tapi, jika dia begini ceritanya aku tak akan pernah sabar.

Sesaat sampai di depan kelasnya. Semuanya masih sunyi dan kosong. Tak ada orang lain seperti yang kulihat sebelumnya. Akan tetapi, pintu kelasnya terkunci.

Aku berusaha mengintip lewat celah jendela seraya memanggil, “Qia!”

Deg!

Entah ini halusinasiku atau ini memang kenyataan. Seorang wanita tinggi dengan pakaian serba hitam meraba-raba tubuh Qia dengan wajahnya yang licik.

Sementara itu, Qia menutup mata, dia gemetar dan sepertinya dia takut dengan sesuatu yang akan dia lihat.

“Qia!”

Teriakanku mengalihkan pandangan wanita itu. Hal itu bersamaan dengan beralihnya pandangan makhluk-makhluk bersisik yang ada di kepalanya.

“Variel!” Qia balas berteriak, namun dia tetap saja tak mau membuka mata.

Apa makhluk itu dan siapa dia?

Aku mencoba memikirkan segala sesuatu tentang makhluk yang ada di dalam ruangan itu. Sejarah, Fisika, Mitos, Mythologi!

Benar! Dia bukan manusia!

Namun, kenapa kami kembali berhadapan dengan makhluk yang sama sekali bukan manusia. Kemaren kami baru saja bertemu dengan makhluk kepala tiga. Dan, ini apa?

Medusa. Begitu mitos menyebutkan. Dia adalah salah satu makhluk yang dipercayai keberadaannya. Namun, dia sudah mati dibunuh anak dari Pesaidon. Lalu, siapa dia? Anaknya Medusa?

Aku mendobrak pintu. Berusaha tidak menatap mata wanita keji itu. Ternyata jika dilihat dari dekat, dia memang mengerikan.

Mitos menyebutkan, jika kita menatap matanya, kita akan berubah sepenuhnya menjadi batu. Aku tak percaya, tapi untuk menghindari kejadian tak diinginkan aku tak akan menatap matanya.

“Ada apa dengan kau? Kau mau mengangguku?” Medusa berkata padaku seolah-olah aku adalah temannya.

“Jangan dekati dia!” kecamku tajam.

“Ha? Makhluk apa kau sebenarnya? Apa kau tak ingin menikmati rasa darah gadis ini?” Keningnya mengerut menandakan tak suka.

“Darahnya? Aku manusia dan aku bukan peminum darah!” bentakku.

Dia tertawa masam. “Tidak memakan darah? Apa kau tidak berbohong? Sudah jelas itu adalah kebiasaanmu setiap hari! Bagaimana bisa kau berkata kau tidak memakan darah? Dan dari mana pula kau mendengar jika kau adalah manusia?” Ucapannya membuatku emosi.

Sesuatu yang basah terasa mengalir dalam pembuluhku. Lama kelamaan semakin besar getarannya. Pandanganku sedikit berubah merah, namun aku masih bisa melihat apa yang ada di depanku.

“A-apa ... si—siapa kau sebenarnya? Ha?!” Medusa itu histeris.

Psaat!

Satu makhluk dengan sisik yang ada di kepalanya hancur. Darah ular itu melayang-layang seolah mendengar perintahku.

Seketika darah itu menghambur tepat ke depan wajah Medusa. Dia berteriak, histeris, merasakan sesuatu yang sakit di matanya.

Sementara itu, aku menarik tangan Qia. Sesaat kemudian kami berlari keluar ruangan kelas. Berlari sekuat tenaga agar tidak bertemu dengan makhluk itu.

Gerbang sekolah pun sudah jauh. Saat itu pula aku baru sadar jika aku masih saja menggenggam tangannya. Malu! Semuanya bercampur aduk menjadi satu.

“Ma—maaf ....” Aku menunduk.

Dia hanya mengangguk. Mungkin juga malu atau salah tingkah. Entahlah, pikiranku sedang kacau sekarang.

“Siapa dia?” tanyaku memulai obrolan seraya berjalan kecil menuju arah rumahnya.

“Itu Medusa?” Dia balik bertanya.

Aku hanya mengangguk kaku, “Sepertinya iya,” jawabku.

Langkahnya terhenti. Dia menatapku dengan tatapan garang dan berani. Dari balik cahaya matanya yang terang itu, aku melihat ribuan pertanyaan yang akan dia lontarkan.

“Dia datang padaku saat aku masih membereskan buku, dan kelas sudah kosong.”

“Lalu?” Aku balik bertanya karena dia berhenti berbicara.

“Dia mengatakan, ‘Kau milikku, darah nikmatmu akan membuatku kekal abadi.’ Aku tahu dia siapa dan apa kutukan besar yang ada di matanya. Hanya saja .... Aku tak tahu kenapa aku sekarang menjadi bahan incaran!”

Tubuhnya bergetar, dia tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya. Aku merasakan rasa takut yang teramat sangat di balik mata itu. Dia menangis, tersedu.

Aku menggapainya, merangkulnya hingga sampai ke dekapku. Aku tak tahu perasaan apa ini, tapi yang jelas aku hanya ingin menenangkannya.

Setelah dia berhenti menangis, dia kembali menatapku. “Dan, kenapa dia berkata kalau dia itu temanmu?” tanyanya.

Tergagap tentu saja. Aku sendiri saja tidak tahu kenapa dia berkata demikian.

“A—aku tak tahu ....” Aku menjawab seadanya.

Dia mengusap matanya yang masih berair.

“Siapa kau? Dan siapa aku?”


.

.

.

By : Thika_Nao1

Alluring Secret [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang