16.Pinched

780 53 22
                                    

"Ah, aku lupa!" ucapku seraya menepuk dahiku pelan. Aku dan Jimin sedang makan. Dia baru saja sampai dengan makanan pesananku. Dan sekarang kami sedang makan.

Jimin melihat kearahku disela-sela mengunyah makanan nya.

"Tadi Yuki menelepon mu."

"Uhuk!!" aku segera mengambilkan air dan memberikannya kepada Jimin. Dia meneguk airnya hingga habis.

"Jorok ih! Muncrat kemana-mana tahu! Makanya kalau makan pelan-pelan."

Aku mengambil tissu dan membersihkan makanan yang sempat terbang keluar dari mulut Jimin saat dia terbatuk tadi di atas meja.

"Kamu kenal Yuki?"

"Eung?" aku membulatkan mataku dan menatapnya. Wajahnya terlihat sangat tegang sekarang. Ada apa dengannya?

"Tidak. Aku tidak kenal. Tadi ponselmu tertinggal, lalu ada panggilan masuk dari seseorang bernama Yuki. Tapi aku tidak menjawabnya, aku rasa akan sangat tidak sopan jika aku jawab." aku bangkit dari dudukku dan berjalan kearah pintu untuk membuang tissu tadi di tempat sampah.

Aku kembali ke tempat duduk ku dan meneguk air mineral yang masih tersegel itu. "Coba saja kamu telepon balik. Siapa tahu itu penting."

"Tidak! Sama sekali tidak penting. Biarkan saja."

Aku menanggukan kepalaku saja menjawabnya. Lagipula itu urusan dia ingin menghubungi kembali ataupun tidak. Aku hanya menyarankan saja.

Tapi jujur, aku juga sangat penasaran dengan Yuki itu. Siapa dia? Kenapa saat menyebutkan namanya wajah Jimin seketika berubah. Apakah ada hubungan penting antara mereka? Aish, ada apa dengan ku? Masa bodoh tentang mereka, yang aku inginkan sekarang adalah menikmati makanan saja.

Ditengah-tengah acara makanku bahkan aku melamunkan bagaimana nanti jika aku sudah menikah dengan Jimin. Apakah keluarga kami akan sama seperti keluarga lainnya, ataukah hanya sebatas kesibukan yang menghampiri kami dan berakhir harus bertemu hanya di setiap malam saja. Itu juga belum dapat dipastikan jikalau salah satu dari kami sudah tidur. Belum lagi kami sama-sama memimpin sebuah Perusahaan yang memang sudah cukup terkenal dipenjuru dunia karena cabang-cabang yang dihasilkan dari proyek yang dibuat. Dan juga aku, bagaimana nanti jika harus mengurus anak? Bukan tidak mau, hanya saja aku belum siap. Aku adalah tipikal wanita yang sangat menyukai anak kecil. Bahkan ketika menggendongnya, ada rasa yang berbeda dari biasanya yang membuat aku merasakan ingin cepat-cepat menikah dan memiliki buah hati yang didalamnya terdapat campuran darah dagingku dan juga suamiku kelak.

"Eoh? Kalian masih disini?" aku terkelonjak kaget dan menatap kearah pintu dimana eomma sudah berdiri disana dengan tas yang kutebak adalah pakaiannya.

Jimin bangkit dari duduknya dan menunduk sopan.

"Ini sudah larut, kalian tidak ingin pulang? Biar eomma saja yang menjaga Kakekmu." aku hanya menganggukan kepalaku menjawabnya. Tidak memperpanjang masalah lagi yang biasanya aku harus memakan waktu hampir setengah jam hanya untuk berdebat dengan eomma menentukan siapa yang akan menjaga Kakek.

Karena hari ini, tubuhku sangat lelah dan juga butuh istirahat. Begitu juga pikiranku.

Aku dan Jimin berpamitan kepada eomma tapi tidak dengan Kakek, sengaja. Aku tidak ingin mengganggu tidurnya. Pasti dia sangat lelah.

Kami berjalan beriringan menuju lobby. Mataku ini sudah sangat berat. Tidak bisa diajak berkompromi. Padahal aku sudah membulatkan sepenuhnya agar mengembalikan segar ku dari rasa kantuk.

My Little Wife | Park JiminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang