VI. Sebuah Pengakuan

486 68 4
                                    


    Kalin menatap waspada ke arah Elang yang berdiri di depan pintu, seperti berusaha menghalangi gadis itu keluar. Tatapan Elang masih mengerikan, dan itu benar-benar membuat Kalin kehilangan ketenangan. Terlebih mengingat dirinya yang kini berada di dalam apartemen tetangga sebelahnya yang benar-benar berantakan seperti kapal pecah.

    “Gue mau keluar! Minggir lo!” tukas Kalin dengan tatapan segarang mungkin. Beberapa detik hening sampai akhirnya tatapan Elang melembut. Wajahnya yang tadi tegang kini kembali ke bentuk aslinya, manis dan lembut. Sudut-sudut bibirnya juga kembali tertarik, menyuggingkan seulas senyum yang dapat melumpuhkan semua gadis yang melihatnya. Tapi sayangnya, Kalin tidak mempan.

    Melihat perubahan ekspresi Elang, Kalin jadi kesal. Apa laki-laki itu sengaja mempermainkannya? Apa laki-laki itu tidak tahu bahwa Ia sudah merasa takut sejak melihat tatapan mengerikan Elang tadi?

    Elang terkekeh melihat wajah kesal Kalin. Tangannya terulur, menggerak-gerakkan poni rata Kalin dengan gemas.

    “Kenapa lo malah ketawa?!” sentak Kalin sembari menepis tangan Elang. Laki-laki itu tersenyum tipis sambil menarik napas panjang.

    “Lo keliatan lucu, Kuda Poni..”

    Kalin mendecih, didorongnya tubuh tinggi Elang ke samping. Menyingkirkan laki-laki itu dari depan pintu. Kalin baru menyentuh pegangan pintu ketika Elang tanpa sopan menarik tangannya dan menyeretnya masuk ke dalam dapur. Kalin berteriak sambil berusaha melepaskan tangannya.

    “Lo ini apa-apaan, sih?!” bentak Kalin kesal. Elang hanya tersenyum lalu mendudukkan Kalin di salah satu kursi meja makan.

    Kalin baru akan mengoceh lagi namun urung ketika dilihatnya meja makan Elang penuh dengan berbagai macam makanan. Kedua mata Kalin membesar, gadis itu tertegun sepersekian detik.

    “Gue baru aja beres masak, dan gue bingung gimana cara ngabisinnya. Tadinya sih mau gue kasihin ke Kikan, tapi karena gue pikir dia udah tidur, gue jadi nggak tega buat ngebangunin dia..” ujar Elang sembari menarik kursi dan duduk di depan Kalin. Mendengar apa yang dikatakan Elang, Kalin mengalihkan pandangan pada laki-laki itu dan bersungut ke arahnya.

    “Lo nggak tega ngebangunin Mbak gue, tapi giliran ngegangguin gue, lo tega tega aja tuh!”

    “Lo sama dia beda.” Kalin tersenyum. Kalin memicingkan mata, sejenak teringat kata-kata Kikan tadi sore.

    “Apa mungkin... Elang suka sama Mbak?”

    Kalin menatap Elang dalam-dalam sementara laki-laki itu balik menatapnya dengan senyum manis merekah.

    “Lo suka sama Mbak gue, ya?!” tanya Kalin setengah membentak. Elang tertawa pelan.

    “Lo bener-bener nggak peka, Kuda Poni..”

    “Nggak peka? Maksud lo??”

    “Udahlah, karena lo udah di sini, mendingan lo bantuin gue buat ngabisin semua ini.”

    Elang meraih sepasang sendok dan garpu lantas menyodorkannya pada Kalin. Gadis itu mendesis dengan bibir mencebik.

    “Nggak! Gue nggak bisa makan malem malem. Perut gue bisa buncit! Sia-sia nanti yang ada diet ala IU gue..” cetus Kalin dan bersiap bangkit dari duduknya. Elang menahan dengan ikut berdiri dan menarik tangan gadis itu.

    “Cobain sedikit aja deh, ya??” Elang bergumam, tatapannya terlihat penuh harap. Kalin diam sejenak lalu menilik makanan yang tersaji di atas meja. Kelihatannya sih, kayak yang enak..

    “Fine. Berhubung lo maksa, gue bakal cicipin masakan lo sedikit..”

    Elang tersenyum senang. Kalin kembali duduk, disusul Elang. Gadis itu meraih sendok dan garpu yang disodorkan tetangganya, lantas mulai mencoba semangkuk sup di hadapannya. Kalin tertegun begitu satu sendok mushroom soup itu masuk ke mulutnya. Rasanya.. benar-benar lezat. Seperti rasa sup buatan ibunya dulu.

Romantika TetanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang