17. Dishonest

548 70 26
                                    

Sabrina Claudio- truth is


"Siapa pemilik syal tebal itu?".

Jisoo harus bertahan sebentar lagi, sebentar lagi-- menunggu kebohongan apa yang akan dikatakan sang suami, lebih tepatnya sajak-sajak omong kosong yang akan ia dengar selajutnya. Tetapi ia yakin, yang dinikahinya bukan lelaki biasa dengan intelligence quotient rata-rata.

Dilihat dari bahasa tubuh yang suaminya tunjukkan, tidak ada rasa bersalah atau mungkin mimik muka beku tertangkap kering. Junmyeon melepas syal tebal itu. "Bukan siapa-siapa." Jelas saja, aktor terbaik Seoul.

Wanita cantik itu pikir, kepulangan sang suami kemarin dari Manila akan meyakinkan dirinya untuk tidak meyakini cerita bodoh dari wanita tidak ia kenali. Wanita cantik itu salah besar.

Dan Jisoo, bukan tipe wanita yang menyimpan rasa sakitnya, ia bukan wanita rapuh, bukan.

"Chorong.. kau mengenalinya?"

"Aku menghamilinya."

****

Junmyeon adalah lelaki bodoh, bajingan, dan pembohong. Dan Jisoo adalah wanita bodoh pula yang mencintai pria macam dia. 

Setelah ditampar (kali ini bukan dengan sejuta kerinduan) tetapi dengan hal spesial berupa; menyaksikan dengan netra miliknya sendiri sang suami masuk ke dalam kamar hotel bersama seorang wanita yang dua hari yang lalu ghibah bersamanya mengenai Kim Junmyeon, saling bergandeng mesra, seolah tidak takut ada paparazi,

dan seolah tidak takut ada sang istri yang menyaksikan perbuatan kotor tersebut.

Oh jangan lupakan, ada sesi ciuman mesra disana, apa yang Junmyeon berikan pada Jisoo, begitupun ia lakukan pada chorong-- nama wanita itu.

Jisoo tidak menangis, ia hancur, dan sudah bosan menangis. Saat lelaki itu pulang, tidak ada senyum hangat, semua terasa palsu bagi Jisoo. Jisoo tidak pernah merasa ini disengaja, ini keterlaluan hanya untuk prank Junmyeon gledek; anniversary tujuh bulan pernikahan.

"Aku harusnya mengatakan ini saat kita di Paris, tapi kau terlalu cepat pergi dengan satu masalah. Chorong mungkin sudah mengatakan ini padamu, aku menyuruhnya."

Junmyeon menjeda menyadari mimik wanita itu berubah, tetapi yakinlah, ia tidak sedang bermain-main atau sedang mengetes perasaan Jisoo, ia memang brengsek. "Ia hamil, tidak mungkin aku meninggalkannya."

Jisoo tidak berubah, ia terus menatap Junmyeon yang sedang melepas jam tangannya. Hening meraja, mereka saling bersitatap dalam satu atap yang dingin, tiba-tiba saja hujan. Padahal sudah masuk bulan kedua belas, salju yang harusnya turun.

"Apa kamu mencintaiku, Kim Junmyeon?" tanya Jisoo hati-hati, takut suaranya bergetar.

"Aku mencintaimu?, tentu saja.
tapi aku juga mencintai chorong."

Hilang rasa bosan Jisoo untuk menangis, ia runtuh, ia rapuh. Ia rapuh, menembus pertahanan ego nyonya Kim, air mata itu jatuh luruh. Merusuk hingga bilik jantungnya, semesta punya racun untuk menyatukan, jatuh hati, patah hati, lalu tidak punya penawar untuk itu.

Kaki Jisoo bergetar hebat, tidak mampu memumpu beban kesakitan itu. Lalu kemudian terduduk penuh pilu di ujung ranjang besar itu, setetes air matanya tidak cukup, jatuh meraung-raung atas titah hati.

Junmyeon berdiri tanpa geming, air muka tetap sama tanpa rombak melihat wanitanya menangis, oh, apa masih pantas ia memanggil Kim Jisoo dengan sebutan wanitanya. Kemudian melangkah lebar menujunya. "Jangan dekati aku, bajingan!"

Junmyeon melanggar, ia menembus tapak tilas dari Jisoo, berdiri didepan wanita itu dengan tatapan mata tidak berubah. Menggenggam tangan wanita itu, lalu dihempas dengan kasar. Tiba-tiba Jisoo merasa jijik dengan tubuhnya sendiri.

ScenarioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang