Chapt 07

10.5K 494 7
                                    

.
.

"Ervin? Ervin?"

Hnngghh..

Sial! Jam berapa ini?!

Pukul 9 pagi! Aku terlambat! Ah, sebenarnya absenku masih penuh, tidak masalah jika aku bolos satu hari. Tapi pengaruh ke nilai tidak ya.

Masih duduk di kasur, tanganku menggosok kedua mata.

"Jangan begitu, nanti sakit." Ujar Farel sambil menarik tanganku. "Heh, merah kan. Ah, aku tidak punya obat mata, sebentar aku beli dulu–"

"Tidak usah. Nanti juga sembuh."

"Benarkah?"

"Iya."

Farel mengangguk lalu duduk disampingku, memeluk perutku kemudian berbaring. Jangan kuliah hari ini, ujarnya. Memang tidak. Lagipula sudah terlambat untuk jam pertama dan kedua.

Diam sesaat.

"Ervin.." Tangannya dengan nakal menggerayahi perut dan punggungku. Naik dengan lembut dan perlahan. Jemarinya berkali-kali menyentuh putingku lalu menekannya.

"Farel.. masih pagi.."

"Lalu kenapa?"

"Jangan, Farel.. Hmphh.."

Bibirnya langsung membungkam kalimatku, setiap sentuhannya membuat merinding. Dadaku seperti tersengat listrik saat Farel menekan kedua putingku.

Aku tak bisa melawan disaat seperti ini, seluruh tubuhku seakan dikendalikan olehnya.

"Sudah keras ternyata." Ujarnya sambil memijat penisku dari luar celana. "Pagimu akan enak."

"Hah? ah.."

Aku kaget. Ia langsung membuka celanaku dan melumat habis penisku dalam mulutnya. Menghisapnya ringan dan dalam, membuatku melayang seketika.

"Nghh~ f-farel.."

Aku kenikmatan. Tanganku meremas rambut lembutnya, mataku terpejam.

Dalam sekali. Penisku seperti disedot dan diremas sekaligus.

Lidahnya bermain di pangkal penisku. Aku merasa hampir keluar. Tak bisa menahan lagi, ini terlalu nikmat.

"a-aku keluarhh.."

Kembali merebahkan diri di tempat tidur, kali ini Farel tak mencegahku keluar. Napasku masih berantakan, meski begitu aku merasa puas. Pandanganku melirik kearah Farel dan seprai.

Tunggu.

Seprainya bersih. Tubuhku juga. Eh, apa aku tidak keluar?

"Farel?"

"Hm?" Lidahnya menjilat cairan putih di ujung bibir kemudian menelannya.

Cairan putih? Spermaku?!

"K-kau menelannya?!" Tanyaku sambil bangkit.

"Apa?"

"Anu, itu.."

Farel tersenyum nakal.

"Ahh, aku malu.." Keluhku sambil menutup wajah dengan tangan.

"kenapa sih? Rasanya enak kok, ahaha."

Wajahku semakin panas. Aku memberi pukulan tak berarti di pundaknya. Tawa Farel semakin menjadi melihat respon berlebihanku.

"sudah, ayo tidur lagi sampai siang.."

.

Merasa lebih baik.

Hariku seakan sempurna.

Semuanya baik sejak ia disampingku.

Aku sudah membicarakan dengan paman bahwa aku akan tinggal di apartemen bersama Farel dan ia tidak masalah. Justru akan mengurangi biaya sewa kamar kan.

Sorenya, aku memindahkan barang dan Farel membantuku. Barangku hanya sedikit jadi tak merepotkan.

Malam pertamaku disini. Ah, tidak. Sebelumnya aku juga sering menginap. Namun kali ini berbeda, tentunya dengan barang-barangku.

"Sepedanya sudah rusak." Farel melihatku, "Mau beli baru?"

"Tidak, ah, mungkin iya, tapi.."

"Baiklah. Besok kita cari ya.."

"Eh, bukan begitu. Maksudku–"

"Siapa bilang ini gratis?" Ujar Farel sambil tertawa nakal. Ia mendekat kemudian berbisik, "Denganmu disisiku sudah kuanggap lunas." 

Malamnya, kurasakan dekapan penuh tubuh Farel. Napasnya menyapu lembut leherku. Hawa dingin tak terasa meski telanjang dada.

Pukul 11 malam. Mataku masih terbuka menatap langit-langit apartemen. Farel sudah terlelap dengan lengan memelukku.

Pukul 12, ia sudah berpindah posisi, membelakangiku.

Tak biasanya seperti ini. Aku sulit tidur, mungkin lapar?

Aku bangkit, membuka selimut lalu berjalan menuju dapur untuk melihat apa yang bisa dimakan. Sebungkus roti mungkin cukup.

Berjalan melewati meja kerja Farel, sebelumnya aku belum pernah menyentuhnya. Farel terbiasa membuka tugas-tugasku, jadi kurasa tak masalah jika kulihat sebentar.

Hmm, buku dan kertas. Bolpoin, sangat biasa. Aku tak mengerti apa yang tertulis disana, daftar harga, pengeluaran, dan tulisan yang tak kumengeri. Laci. Aku ingin segera ke tempat tidur, namun sisi lain dari diriku seakan mengatakan untuk membuka laci itu.

Farel masih tertidur.

Aku membukanya perlahan, membalik beberapa lembar kertas. Sebuah kotak. Kotak kecil berwarna coklat dengan tali kuning keemasan, sederhana namun indah dan menarik. Jariku dengan lembut menarik tali itu dan kotakpun terbuka.

Sebuah foto dalam figura kecil.

Hmm.. Wanita ini, ah, mantannya. Kelihatannya bukan foto baru, rambut Farel masih pendek disini. Mungkin beberapa bulan yang lalu. Wanita yang cantik, tidak heran jika Farel menyukainya.

Setelah puas melihat akupun memasukkan figura itu kedalam kotak lalu kembali meluhat tumpukan kertad. Membalik lembar demi lembar kertas kosong, kurasa Farel sengaja menyimpan barang ini disini. Tak ada apapun kecuali kotak dan hvs kosong.

Aku menata barang seperti semula sebelum kembali ke tempat tidur.

Mencoba memejamkan mata dan tidur.

Pikiranku melayang.

Kenapa sih, aku cuma mau tidur.

Ponsel Farel. Atau laptop. Ponsel. Buka ponselnya sekarang. Sesuatu seperti bergema di telingaku.

Pesan gmail atau whatsapp, atau yang lain? Hm, ini saja. Scroll kebawah, miss.

Miss.

Profilnya wanita tadi.

Ternyata masih berhubungan ya.

"Aku tahu kamu keluar kota." 

"Aku bisa tahu kamu dimana.."

"Sayang, balas pesanku. Kamu gay? Sejak kapan? Apa itu alasan meninggalkanku? Ingat, keperawananku kamu ambil ya."

Farel: "Kamu yang memaksa, aku tak pernah menginginkannya. Jangan hubungi aku lagi." 

"Aku diam selama ini, masih untung kamu dengan wanita lain. Tapi ini? Lelaki?!"

"Farel. Balas. Angkat telp ku."

"Cek"

"Dia tidak akan baik-baik saja. Suatu saat aku akan bertemu dengannya."

"Farel!"

"Dia tidak akan baik-baik saja!"

Aku menutup pesan dan menutup ponsel. Pesan itu sebenarnya tidak dibaca oleh Farel, berada dalam arsip sejak seminggu lalu.

Aku kembali berbaring, mengangkat selimut dan menatap punggung Farel.

Aku tak akan baik-baik saja ya?

Farel tidak tahu bahwa wanita itu mengirim pesan seakan memberi ancaman padaku. Aku sudah menghapusnya. Farel tak boleh tahu, aku tidak mau ia khawatir.  

.
.

A BOY LIKE YOU (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang