Chapt 18

4.5K 337 2
                                    

.
.

"Kau anggap aku ini apa?"

Farel tak menjawab. Ia berjalan mendekat, meraih tanganku lalu memaksaku masuk ke dalam mobil.

"Raka, tolong antar ke apartemen." Ujar Farel.

"Lepaskan! Lepas!"

"Diam!"

Aku terkejut. Sebelumya Farel tak pernah menunjukkan ekspresi seperti ini. Ia menggenggam tanganku, duduk menghadap depan tanpa melihatku sedikitpun.

"Kau boleh membawa mobilku untuk pulang." Ujar Farel pada Raka.

"Eh? Tapi–"

"Ini perintah."

Raka mengangguk lalu pergi dengan mobil Farel. Mungkin ia malas parkir. 

Aku tak melawan, membiarkan Farel menggandengku sampai ke kamar lalu menguncinya.

"Mandilah." Katanya singkat.

Aku mengangguk dan segera membersihkan diri. Mencoba menghilangkan hal negatif sebelum keluar kamar mandi.

Farel berdiri di depan jendela, tangannya terlipat di depan dada. Ia berbalik setelah sadar aku dibelakangnya.

"Aku membuat teh. Ada di dapur kalau mau. Coklat dan yang lain juga ada. Kamu tinggal pilih." Ujarnya sambil kembali menatap keluar jendela.

"Terima kasih."

Farel berbalik. Aku menatapnya. Sial. Wajah itu.. Ia terlihat sedang menyimpan banyak emosi. Aku egois sekali bertindak seperti tadi, membuat orang lain khawatir.

"Maafkan aku. Farel, maaf.."

"Diamlah."

"Eh?"

"Aku masih marah padamu. Bisa-bisanya menghilang tanpa jejak dan saat bertemu mengatakan hal seperti itu."

"Ah. Itu.."

"Kau tidak tahu betapa menyesalnya aku jika kamu terluka."  

"..."

"Cih." Ia berjalan cepat mendekat, mataku terpejam. Apa yang akan dilakukannya? Apa memukulku sebagai hukuman, atau yang lain?

Ahh..

Tubuhnya..

Pelukannya lebih dalam dari biasanya.

"Tolong jangan lakukan lagi." Bisiknya.

Aku tertegun.

"Kau sudah tahu semuanya."

Farel melepas pelukannya, duduk di kasur dan menyuruhku duduk diatasnya. "Kemarilah."

Ia menarik pinggangku agar semakin dekat. Menyentuh leher belakangku lalu mencium.

"Ahh.."

"Manisnya. Jangan biarkan orang lain merasakan ini."

Aku memejamkan mata.

"Ervin.. Maafkan aku. Aku terlalu sayang padamu, maksudku tak mau melibatkanmu. Tapi malah sebaliknya."

Aku menatapnya. Mulutku terbuka namun tak ada kata yang keluar, malah air mata. Ia melingkarkan tangan ke leher Farel dan memeluknya lagi.

"Aku tak mau kamu bernasib sama seperti lelaki itu." Ujar Farel. Bahuku basah, ini pertama kali Farel menangis di pundakku.

"Aku tidak bisa menahannya, ia membawa keluargaku. Maafkan aku."

Aku mengerti. Yang dilakukan Farel selama ini semata-mata untuk melindungiku. Ia sengaja tak menjadikanku kekasih agar tetap aman. Sengaja mengajakku tinggal di apartemen dan tidak mengatakan apapun. Semua hanya untukku.

Sekarang sudah jelas.

Tak ada yang perlu ditanyakan. Hanya memikirkan cara untuk melangkah tanpa merugikan siapapun.

.
.

Beberapa hari berlalu.

Beberapa minggu.

Hampir satu bulan.

Farel benar-benar tak mau melepaskanku. Kemanapun aku pergi, ia selalu ada. Bahkan di kamar mandi pun. Ia mengaku senang menyentuh tubuhku dalam kondisi licin. Seperti saat pertama melakukan sex dengannya. Di kamar mandi. Sialan, sedikit memalukan.

Jane tidak mengirim pesan apapun. Namun sekalinya mengirim mampu menghantuiku.    

"Wah, ada kembang api. Farel! Lihat brosur ini."

"Hm? Mau kesana? Malam ini loh."

"Boleh?"

Farel tersenyum. Aku sangat senang. Sebenarnya hanya pertunjukan kembang api biasa yang diadakan setiap tahun. Hampir setiap tahun pula aku melihatnya dan tidak pernah bosan.

Malamnya.

Celana panjang dan jaket tebal. Malam ini terasa dingin. Kami membeli minuman panas dan memilih tempat yang dirasa nyaman untuk pertunjukan. Disebuah cafe yang letaknya cukup tinggi, sengaja dibuat untuk menikmati acara seperti ini.

Banyak pasangan saling bergandengan. Farel menyadari aku mengamati mereka dan ia tertawa kecil.

"Kenapa? Ingin seperti itu?"

"Ahh, tidak. Lebih dari cukup melakukan itu di apartemen." Jawabku gugup.

"Itu apa?" Goda Farel. Ia terlihat sangat tampan dibawah cahaya minim lampu cafe.

"J-jangan begitu."

Ia kembali tertawa.

Sebentar lagi. Kembang api mulai diluncurkan. Setiap ledakannya memancarkan warna dan bentuk yang berbeda, menurut sudut pandang kita. Membentuk harapan masing-masing.

Merah biru kuning emas. Terlihat hampir sama di langit gelap. Aku terpaku.

Farel menyentuh tanganku, membelai rambutku dan mulai mencium. Aroma musk dan citrus. Parfum baru yang kami beli beberapa waktu lalu.

"Ahh, hahh.."

Farel tersenyum manis. Lebih manis dari biasanya. Ia menarik tubuhku agar bisa bersandar.

Kenyamanan yang belum pernah kudapatkan sebelum bertemu dengannya. 

"Aahhh, aku lelah. Ervin ayo tidur. Hm? Kamu sedang apa?"

"Besok waktunya."

Aku menelan ludah. Pesan ini, Jane. Waktu apa yang ia maksud.

"Ervin.."

"Iyaa, aku kesana."

Apapun ini, pasti tidak baik. Tapi setelah dipikir lagi..

"Sudah cuci tangan?" Aku mengangguk.

Farel sudah banyak berkorban.

"Baiklah, kemari. Peluk aku."

Meski jarang terucap, ia sangat mencintaiku.

"Parfumnya masih tercium ya, haha."

Apapun darinya membuatku lemah. Aku menyentuh pipinya dan menciumnya sekali sebelum memberi dekapan. Farel tampak terkejut namun merasa cukup nyaman.

Saatnya aku menyerahkan diri untuknya.

.
.

A BOY LIKE YOU (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang