Chapt 20

4.8K 338 12
                                    

.
.

Nuansa putih bersih. Rona kebiruan di langit.

Ibu..

Kau disana?

Aku akan menyusulmu, ibu..

Sangat tenang. Damai. Mulutku tak mengeluarkan suara namun aku dapat mendengar kalimatku.

Ibu..

Tak bisa dipercaya. Ia ada disana. Berdiri di tempat tinggi dengan gaun putih panjang, rambut hitam khas asia terurai indah hingga ke punggung. Tersenyum ramah. Ia tak mengatakan apapun. Sorot matanya memancarkan keindahan. Ibuku tampak lebih muda dan cantik.

Aku berlari. Sangat bahagia. Apa ini surga? Berarti aku sudah mati.

Langkahku tehenti. Aku mendongak menatapnya. Senyum di wajahnya memudar, tatapannya sayu.

"Kenapa kau disini?" Tanya nya

Aku tidak mengerti. Apa ibu tak merindukanku?

"Belum waktunya. Kembalilah."

"Tapi ibu.."

''Ada seseorang yang sangat mencintaimu diluar sana. Jangan kecewakan dia."

Kurasa itu dialog terakhir.

Kabut putih datang, semua menghilang perlahan. Termasuk ibu. Terlihat sekilas senyumannya yang indah penuh arti. Belum waktunya. Artinya aku belum mati.

"Ervin.. Ervin..."

Seseorang memanggil namaku. Ia memelukku erat sambil mengatakan pujian. Aku tahu ia menangis. Aku sudah membuat orang lain khawatir. Farel disini. Jadi ia orang yang mencintaiku seperti yang ibu maksud.

"Hei? Kau bisa lihat aku?"

Ada beberapa orang disini namun hanya dia yang dapat kulihat jelas.
Wajahnya, suaranya. Ia terdengar panik meski berusaha setenang mungkin. Aku mengangkat tangan lalu menyentuh kedua pipinya. Tangan ini rasanya berat.

"Ervin, syukurlah.." Ia kembali menangis dan memelukku cukup lama.

Astaga.

Aku sudah membuatnya terluka.

.
.

Seminggu berlalu.

Semua seperti mimpi.

Bekas luka ini belum hilang. Beberapa masih terbuka karena bergesekan dengan kain.

Secangkir teh hangat, hujan dan jendela, dekapannya. Kembali seperti biasa. Seakan tak ada yang terjadi. Farel bertanya tentang menu makan malam. Ia berjanji akan mengajakku keluar malam jika sudah sembuh.

"Kamu yang memilih resto." Aku mengangguk.

Ac dimatikan karena aku tidak pakai baju. Meski sudah mati namun rasa dingin tetap ada. Farel bangkit, membuka almari dan memberikanku mantel bulu tebal.

"Kurasa ini lebih lembut dari selimut. Lukamu sulit mengering ya."

"Terima kasih."

Aku tidak tahu kabar mereka setelah siuman. Farel dan Raka juga tidak mengatakan apapun.

Beberapa hari aku jarang berdiri di depan kaca. Ngilu saat melihat luka di tubuhku sendiri. Farel selalu memberi air dingin agar cepat kering juga handuk kecil untuk membersihkan tubuh. Dengan sabar ia melakukannya.

"Farel.."

"Ada apa?"

Aku meletakkan cangkir lalu menatapnya, "Terima kasih."

A BOY LIKE YOU (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang