Chapt 08

9.3K 466 14
                                        

.
.

Aku akan bekerja sekaligus kuliah mulai taun depan. Meski luar kota, jaraknya masih bisa ditempuh dengan bus satu kali. Memang repot, namun demi menghemat biaya hidup.

Farel sempat menolak namun aku berusaha meyakinkan bahwa aku bisa.

Beberapa bulan berlalu.

Tahun selanjutnya datang.

Aku sudah menginjak semester akhir, artinya seluruh syarat lamaranku sudah lengkap. Perusahaan itu pasti masih ada lowongan untuk bagianku.

"Ah, dia lagi.." Gumamku.

Sudah setahun hubungan mereka berakhir namun wanita ini masih menghubungi Farel. Aku sudah berulang kali memblokir akunnya namun ia tetap mengirim pesan lewat akun lain. Dasar.

Merepotkan.

Sejak lama ia mengatakan ancaman terhadapku, namun sampai sekarang tak ada apapun. Mungkin hanya cara agar Farel menjauhiku.

Hingga saat ini, Farel tak tahu soal ancaman itu. Karena setiap ada pesan masuk aku langsung menghapusnya. Aku tahu password beberapa akun Farel, jadi leluasa saat menggunakannya.

Aku tak mau menambah pikirannya.

"Ah, aku ada panggilan ke luar kota nanti." Ujar Farel sambil melihat ponsel.

"Lagi?"

"Maaf ya. Tidak ada pilihan.."

"Iya."

Beberapa minggu ini Farel sangat sibuk. Apartemen ini bahkan terasa seperti milikku sendiri, sepi.

Duduk di sebuah sofa dengan televisi yang diabaikan sudah biasa. Sesekali melihat layar ponsel untuk memastikan wanita itu tak mengirim pesan lagi. Dan jika terjadi, aku akan menghapusnya. Selalu.

"Aku akan kesana."

"Secepatnya."

Ahh, orang ini merepotkan. Batinku. 

Biasanya aku tak peduli hal semacam ini. Namun ini berbeda. Rasanya perasaanku semakin tidak nyaman. Apa yang akan ia lakukan jika benar bertemu denganku. Memukul? Melempar sesuatu? Mencaci? Atau, mengurung?

Menyeramkan. Aku tidak suka membayangkannya.

Malam terasa panjang.

Aku tidak bisa tidur. Hanya membuka mata, memejamkannya sesaat, lalu terbuka lagi. Hingga pagi. Aku khawatir, sungguh. Ada perasaan yang sangat mengganggu.

Ini tidak baik-baik saja.

.
.

"Waahhh, sudah kuduga! Diterima!" Teriakku setelah membaca email bertulis penerimaan pekerja baru.

"Aku tidak terkejut.." Sahut Farel pelan.

"Ehh?"

"Tentu saja. Bodoh jika pemilik perusahaan itu menolakmu. Setelah menunggu hasil interview bulan lalu kan, haha."

Kami tertawa bersama. Minggu depan aku bisa mulai bekerja!

Aku lebih sering menaiki bus daripada bersama Farel saat akan bekerja. Tujuan kota kami berbeda. Farel selalu berpindah apartemen ketika diluar kota, namun sekarang ia berusaha menetap agar aku tak sendirian.

"Aku bisa sendiri, kamu berangkat duluan saja."

"Yakin?"

Aku mengangguk.

Mobilpun pergi dan aku masih duduk di halte.

Seminggu berlalu, aku menikmati pembagian antara pekerjaan dan kuliah. Semua berjalan baik meski tugas menumpuk.

Wanita itu tidak mengirim pesan sejak terakhir aku menghapusnya. Seharusnya tenang, namun justru sebaliknya. Aku merasa sangat takut.

"Farel.."

Ia pulang terlambat. Lagi.

Aku kembali merasa sendiri.

Ruangan ini tampak lebih longgar dan kosong saat ia tak ada.

Aku pergi keluar, berjalan-jalan. Meski sudah memiliki sepeda baru, namun aku belum pernah memakainya. Memasang headphone, jaket tebal serta celana hitam panjang. Aku menyusuri jalanan kota. Terlihat beberapa kendaraan namun tak menghilangkan kesan sepi.

Jalanan basah oleh air hujan dan suasana gelap. Cahaya dari toko terlihat kontras dengan sekitar. Uap keluar dari mulutku.

Aku duduk di sebuah bangku pinggir jalan setelah membeli sebuah kaleng minuman. Dingin. Seharusnya aku membeli coklat panas, bukan es kopi.

Hanya duduk tak melakukan apapun. Nuansa musik di kepalaku cukup menciptakan rasa tenang. Setidaknya bisa sementata mengusir khawatir.

Sebuah mobil berhenti di depan toko tempatku membeli minuman tadi. Seseorang keluar mobil lalu masuk ke toko, ah, bukan satu orang. Tapi dua. Mereka terlihat serasi saat berjalan berdampingan.

Aku tersenyum.

Eh, tunggu.

Mobil itu, aku tidak asing. Jenis dan warnanya mirip sekali. Atau memang milik dia?

Aku berjalan mendekat, mencoba mengingat plat nomornya. Kurasa sama. Perlahan aku masuk ke toko dan mencari orang yang keluar dari mobil.

Farel.

Hampir memanggil namanya namun tanganku spontan membungkam. Mataku menatap mereka berdua, sangat akrab. Aku tak bisa mendengar percakapan mereka namun Farel sempat tertawa kecil di akhir perbincangan.

Aku segera mengambil ponsel, mengirim pesan pada Farel dan menunggu jawabannya disini.

"Farel, dimana?" Send.

Ia terlihat mengambil ponsel dari saku celananya lalu menjauh beberapa lamgkah dari wanita itu.

"Maaf sayang, aku sedang rapat. Nanti kuhubungi lagi."

Sebuah pesan masuk, Farel kembali memasukkan ponsel ke saku lalu berjalan menuju kasir dengannya. Pergi dengan mobil menuju arah yang berlawanan dengan jalan pulang ke apartemen.

Ia berbohong.

Sudah berapa kali? Berapa lama?

Mungkin alasan wanita itu tak lagi mengirim pesan email ke Farel karena sudah sering bertemu. Disini. Dan aku dengan bodoh percaya ini urusan pekerjaan.

Beberapa saat berlalu.

Aku duduk di rerumputan taman kota, tidak peduli celanaku basah. Aku cukup menikmati ketenangan dan alunan musik. Langit kelabu.

Ponselku bergetar. Farel akan segera pulang dengan makanan untuk dimakan bersama.

"... tunggu disana ya, sebentar lagi sampai."

Disana mana. Aku tidak mau pulang. Taman ini tidak buruk untuk tidur malam ini.

.
.
.

A BOY LIKE YOU (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang