Chapt 21 (end)

6.8K 347 16
                                    

.
.
.

Paman akan datang sebentar lagi. Mungkin ia akan banyak berubah. Semoga ia tidak kecewa dengan sosok Farel, tentu tidak. Semua akan menyukainya.

Tolong jangan terlalu jujur pada paman, pintaku. Farel mengerti. Ia menyanggupi.

"Ah, tentang pindah. Apa maksudnya?" Tanyaku.

"Hm, kita pindah dari sini. Jauh. Mereka telah membuangku, jadi aku bebas."

"Aku tidak mengerti."

"Intinya kita akan tinggal bersama dan membuat kehidupan baru."

"Maksudmu anak? Ah-"

"Bisa adopsi jika kamu menginginkannya."

"Aku lebih suka kura-kura."

"Hah??"

Kura-kura.

Selama ini aku menyimpan rasa kagum pada hewan itu. Entahlah, tempurungnya terlihat mengagumkan. Tidak tahu. Saat ditanya aku pun tak bisa menjelaskan. Aku suka berarti aku tertarik.

"Kita bangun rumah kura-kura. Aku ingin yang berukuran besar." Ujarku antusias.

"Tentu." Farel tersenyum.

Besoknya.

Paman telah tiba di bandara dan kini menuju apartemen. Farel menjemput mereka dengan mobil, sedangkan aku masih kuliah. Ini sudah hampir usai. Sebentar lagi lulus.

"Bagaimana hubunganmu dengannya" Tanya paman.

"Hm? Tentu tidak main-main. Aku serius dengannya." Jawab Farel.

Paman tersenyum sambil menggenggam tangan lelaki di sebelahnya. Manis sekali. Jika dilihat, ia tak terlihat tua. Terlihat seperti orang dewasa yang baru saja matang. Lelaki di sebelahnya sedikit lebih manis dengan kacamata bulat menambah kesan muda.

Mobil berhenti tepat di depan apartemen.

"Paman bisa meminta kunci kamar kosong ke petugas. Ini gratis."

"Oh, ya. Mau kemana?"

"Menjemput Ervin. Tidak akan lama."

Pasangan yang unik. Meski kaya, namun paman berpenampilan sederhana. Aku menyukai mereka.

Beberapa menit perjalanan. Ervin sudah menunggu di depan gerbang kampus.

"Maaf terlambat, sedikit macet."

Ervin terlihat senang saat bertemu pamannya. Ia langsung memeluknya.

"Reaksimu berlebihan." Canda paman.

"Sial. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali bertemu. Ini Sawn?"

"Aku Sawn." Salamnya lembut. Ia memberikan sebatang coklat untuk Ervin sebagai tanda pertemuan. Kebiasaan tidak wajar. Ah, ia sedikit terlihat melambai. Farel bersyukur Ervin tidak seperti itu.

"Nah, Farel. Kamu terlihat tampan dan umm, kuat." Paman tertawa.

Apa masudnya kuat, batin Farel.

Setelah cukup berbincang dan makan, paman dan kekasihnya membersihkan diri di kamar sebelah. Mereka langsung istirahat setelah perjalanan jauh.

"Mereka unik." Ujar Farel.

"Begitulah."

"Paman membicarakan study lanjutanmu setelah lulus, ia berencana membawamu ke luar negeri bersamanya."

"..."

"Ervin?"

"Aku berjanji akan tinggal dan membangun rumah kura-kura bersamamu. Bukan dengannya."

"Soal itu-"

"Aku tidak akan pergi tanpamu. Lagipula aku sudah mendapat pekerjaan bagus sekarang. Tanpa melanjutkan study, aku sudah bisa hidup."

"Siapa yang bilang kamu tidak bisa hidup?"

"Ah, bukan itu maksudku. Sudahlah. Aku lelah. Minggu depan deadline pengumpulan tugas akhir." Jelas Ervin sebelum merebahkan diri di kasur.

Farel tak mengatakan apapun. Ia duduk di kasur samping lalu membelai rambutku. "Terima kasih.."

Sejujurnya aku tahu tujuan paman berkunjung. Ia ingin menjemputku dan membawaku ke luar negeri untuk study lanjutan. Namun aku menolak. Aku akan tetap tinggal di negeri ku bersama Farel dengan pekerjaan tetap ini.

Sebenarnya Farel memberi saran agar aku tidak bekerja, cukup mengurus rumah yang sedang masa pembagunan. Namun aku tidak mau. Tujuanku kuliah adalah untuk bekerja dan mengirim uang pada paman sebagai tanda terima kasih telah membiayai kuliah.

Dua hari setelah ini paman dan Sawn kembali ke luar negeri. Ia sempat bertanya tentang memar di tubuhku dan kecelakaan menjadi alasan. Ia percaya. Ia memberi kartu nama berisi nomor dan alamat lengkap rumah disana. Berharap kami berkunjung lain waktu.

Rumah yang dibagun Farel akan selesai kurang lebih empat bulan. Jujur aku tidak tahu kapan Farel memulainya. Dulu ia hanya memberi beberapa desain rumah yang kukira untuk pembagunan pekerjaan. Ternyata untuk kami.

"Anggap ini hadiah untukmu."

"Hadiah?"

"Karena tetap disisiku apapun yang terjadi."

Aku tersenyum dan memeluknya. Hampir menangis.

Meski sampai sekarang ia belum membuat status yang mengikat, namun chemistry dan rasa saling percaya tak bisa menghianati. Akan tiba waktunya.

Seseorang yang terlihat mandiri dan kuat ternyata memiliki sisi lemah seperti orang pada umumnya. Aku yang mengetahui semua tak akan membiarkannya jatuh lagi. Aku akan menjadi penguat saat dia butuh seseorang.

Ibu.

Lihatlah.

Aku sudah bahagia. Aku juga berharap kebahagiaanmu disana.

Tersenyumlah.

Maka aku akan tersenyum pula.

Aku mencintaimu.

.
.
.

END.

A BOY LIKE YOU (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang