Part 3

1.2K 63 0
                                    

Ya! Karena hanya Pian yang tahu PIN ATM anak-anak?!" seruku sambil merenggut buku rekening dari tangannya.

"Ingat, Senin harus sudah kembali!"

Aku keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi, bahkan Cahyo juga tak mengikuti. Di lobby masih ada beberapa staf yang menatapku sambil berbisik-bisik. Tanpa menyapa mereka aku pergi dari perusahan itu, aku acuhkan satpam yang berusaha berbasa-basi. Bagiku semua bermuka dua, tak nampak mana teman mana musuh. Semua tahu perselingkuhan itu tetapi sengaja menutupi bahkan cenderung bertepuk tangan, padahal di antaranya adalah teman baikku.

***

Aku sengaja membatalkan sidak ke perusahaan rekanan karena menunggu Ardian pulang. Namun hingga larut malam tak nampak batang hidungnya, mencoba mencari tahu ke sopir perusahaan.

"Tadi saya lihat mampir ke rumah Diah, lalu disusul Santi juga. Gak tahu sekarang, Bu."

Diah, teman juga sahabat dekat sejak kami awal menikah. Aku berusaha menghubungi tetapi tidak dijawab, mengirim SMS saja mungkin sedang sibuk. Pukul sembilan malam ada SMS jawaban dari Diah. Bilang kalau Ardian gak ada mampir.

[Oh ya, tapi ada yang bilang tadi ke rumahmu?]

[Ya tadi sekarang gak ada]

[Tadi katanya gak ke sana, apa yang kamu tutupi? Menutupi kebusukan orang lain, zina lo mereka!]

Sengaja berkata pedas karena geram oleh kebohongan Diah, wajah lugu dan alim tetapi seakan mendukung perbuatan maksiat sepasang manusia yang tengah dirasuki iblis.

Sesaat kemudian ada panggilan masuk dari Diah, dengan malas aku menjawab.

"Mbak, tolong jangan libatkan istriku dalam masalah kalian!" Ternyata yang menghubungi adalah suami Diah, ucapannya membuatku meradang.

"Mas, yang melibatkan bojomu itu siapa. Aku hanya tanya apa Ardian di sana? Bojomu sendiri yang berbohong padahal jelas mereka dari sana. Kebusukan kok ditutupi, coba kalau rumah tangga kalian yang mengalami?!"

Entah dia bicara apa lagi tak aku hiraukan, ponsel aku letakkan di meja sedangkan aku mandi. Menjelang azan Maghrib tiba-tiba perutku seakan ditusuk-tusuk, hingga berjalan saja tak mampu.

"Mama ... Mama, kenapa?" Aegel putra pertamaku menyentuh bahu ketika mendapati tubuh ini meringkuk di lantai dapur.

"Mas, bantu mama ke kamar ya!"

Bocah berusia delapan tahun itu berusaha membantuku bangkit, sedangkan keringat dingin terus membasahi tubuhku.

"Dek ... Adek, Sinio!" teriak Aegel memanggil Jasmin.

"Ya Alloh, Mama kenapa?  Hiks ...," Jasmin berlari dari ruang tengah langsung memelukku yang terduduk bersandar dinding.

"Mama, di sini ya!" Tanpa menunggu jawaban Aegel berlari keluar, aku menduga sedang mencari bantuan ke Mbak Indriani.

Jasmin aku suruh membawakan minyak angin, sakitnya sungguh luar biasa. Sesaat kemudian Mbak Indriani datang tergopoh berserta kakak perempuannya.

"Mbak, Ya Alloh ... Opo'o Pean Iki?" Mbak Indri meraba wajahku yang basah oleh peluh, tubuhku menggigil karena kedinginan yang menyerang tiba-tiba.

"Ke rumah sakit ae, Mbak!" Mbak Dian-kakak Mbak Indri menyarankan agar aku dilarikan ke rumah sakit.

"Mas Ardian, nandi?"

"Papa, belum pulang Te." Aegel menjawab dengan bercucuran air mata, memeluk Jasmin yang tak kalah deras air matanya.

Seakan antara hidup dan mati, sesak nafas juga datang tiba-tiba. Ada apa sebenarnya dengan tubuh ini, apakah aku masuk angin karena mandi air dingin. Tanpa menunggu lebih lama, aku dilarikan ke rumah sakit terdekat. Semua mencoba mengubungi ponsel Ardian tetapi tidak aktif, akhirnya menghubungi adikku agar datang membantu.

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang