Part 6

950 60 0
                                    

Saat aku kembali ke rumah, Ardian sudah bermain bersama anak-anak. Namun, semua berlari menyambut setelah aku mengucap salam. Ardian berdiri dan mengulurkan tangan. Aku mencium aroma aneh di telapak tangannya. Seakan merasuk dalam indera penciuman dan membuat sarafku meremang, apa?

Aku mencoba menatap wajah tampan yang selalu membuat ibu-ibu komplek berdecak kagum, tetapi buru-buru Ardian membuang muka. Ada sesuatu yang dia sembunyikan, itu kebiasaannya jika berbohong. Menghindar bertatap muka.

"Mandilah! Kita makan bareng, aku tadi sudah masak buat anak-anak." Aku mengernyit, semakin heran dengan sikapnya yang tiba-tiba baik.

Bagaimana mungkin seorang Ardian yang selama ini acuh dengan perkembangan anak, rela memasak untuk mereka. Aku ke meja makan untuk melihat masakan apa yang tersaji, tetapi melihat Mbak Umi-pembantu, menatap dengan tatapan yang memohon. Aku mengedipkan mata pertanda tahu ada yang tidak beres, mencoba mengalihkan perhatian Ardian.

Rupanya nasib baik masih berpihak kepadaku, Ardian pamit keluar karena dicari Pak RT. Bergegas menyuruh anak-anak makan dengan bakwan yang aku beli, sedangkan masakan yang disiapkan Ardian aku buang. Mbak Umi menaruh curiga dengan Ardian yang membawa bumbu dari luar, tidak mau menggunakan garam atau gula yang di rumah.

"Ngapunten, Bu. Saya sengaja tidak pulang dulu sebab takut terjadi apa-apa jika semua makan masakan bapak." Mbak Umi menatapku iba, meskipun hanya siang saja bekerja di rumah tetapi tahu kisah rumah tanggaku.

"Makasih, Mbak. Kalau racun kayak e gak, hahaha." Tertawa dengan nada getir, karena teringat ucapan Budheku kemarin.

"Kamu selama ini manut sama Ardian karena guna-guna. Ora salah nuduh, wong jelas mertuamu itu dukun. Inget to siapa yang mengobati sakitmu dulu sampai diambil anak kamu itu?"

Aku diambil anak angkat Abah dan Ummi setelah sembuh dari guna-guna teman pria yang kutolak. Saat itu aku masih semester tiga di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di kota Malang. Aku menolak karena memilih setia pada kekasihku yang menjalin hubungan sejak bangku SMP. Namun pria itu rupanya tersinggung karena merasa tampan, kaya tetapi aku menolaknya. Bagai orang gila yang selalu kelayapan, begitu pula aku saat itu. Beruntung sepupuku tahu kondisi dan mengajakku ke rumah kenalannya.

Abah bukan orang Jawa, punya kemampuan spiritual untuk menyembuhkan orang dalam pengaruh gaib. Aku datang kesana bersama ibu dan sepupu, rumah di daerah perbukitan kota Malang. Aku yang merasa baik-baik saja sebenarnya enggan, tetapi karena ibu memaksa ikut akhirnya hanya bisa menurut saja. Hanya dengan melihatku, Abah tahu aku sedang dalam pengaruh gaib. Dengan beberapa botol air mineral aku kembali ke kost, meminumnya hingga botol-botol itu kosong semua.

Sejak saat itu aku sering bolak balik ke Abah, dan pulang ke kost dengan diantar. Pengaruh gaib telah lenyap dari hidupku, kembali normal seperti sedia kala. Namun, aku tetap melanjutkan hubunganku dengan kekasihku. Hingga saat anak bungsu Abah menikah, di sana aku bertemu Ardian yang langsung tebar pesona di hadapan. Aku yang tidak mudah akrab dengan orang baru, terutama pria dianggap gadis yang sombong olehnya. Dengan berbagai cara Ardian mendekati, bahkan dengan berkunjung ke kostku. Manisnya rayuan sering terdengar melalui telpon kost, tak jarang pula mengaku sebagai kekasihku kepada teman-temanku.

"Apa sih hebatnya kekasihmu sehingga pria tampan sepertiku terabaikan?" sinisnya karena aku menolak ketika diajak nonton bioskop malam hari.

"Aku tidak menilai seseorang dari fisik, tetapi hati. Virgi, aku mengenal begitu setia dan menjaga maruah diri masing-masing."

Kami memang jarang bertemu, mungkin hanya satu bulan sekali ketika sama-sama berkunjung ke Abah. Namun dari adik bungsu aku tahu jika Ardian suka sekali berganti pacar, bahkan pernah melamar seorang gadis dan tidak jadi menikah. Dari Ardian sendiri aku tahu bagaimana prilakunya bersama gadis-gadis yang dikencaninya, sungguh hal menjijikkan yang dibanggakan.

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang