Part 20

1K 91 6
                                        

Ardian tidak pulang, dan itu sudah aku duga sebelumnya. Namun, setelah sholat subuh ada telpon dari bapak yang menyuruhku pulang segera karena ada hal penting. Dengan alasan apapun bapak menolak, memaksa harus segera pulang meski sebentar.

Setelah mengantar anak-anak sekolah, aku melajukan motor menuju bay pass Krian. Lebih baik naik bus dari sana, dan menitipkan motor. Dengan berjuta dugaan aku menuju rumah bapak yang hanya tiga jam dari rumah, lelah sebenarnya karena hari ini seharusnya aku memasukkan berkas gugatan. Lagi-lagi tertunda dan pasti ini adalah akal bulus Ardian saja, sebab besok Sabtu Minggu pasti PA tutup. Baiklah, masih ada Senin dan Selasa untuk pengajuan.

"Kelakuan macam apa yang kamu lakukan untuk mencoreng wajah bapakmu ini?" Pertanyaan bapak membuatku terhenyak, sedangkan ibu memberikan kode aku agar tidak menjawab.

"Bapakmu ini gak butuh anaknya sukses dari hasil merusak rumah tangga orang, gak ada dalam sejarah keluarga kita bejat seperti yang kamu lakukan?!"

"Nana, lakukan apa, Pak?" tanyaku tak kalah keras dengan nada bicara bapak, terpancing juga emosi ini.

Rupanya ada yang membuat fitnah agar aku bertengkar dengan bapak, dari mana sumber jika bukan dari Ardian. Begitu banyak kalimat yang menyakitkan harus kudengar, lebih memilih diam sebab ibu terus menatapku iba.

"Kalau nekat kamu cerai sama Ardian, gak usah jadi anakku lagi!" Bapak pergi dan menghempaskan pintu kamar.

Sadar jika bapak sedang dalam pengaruh guna-guna Ardian, tak akan mempan dilawan dengan logika. Iblis itu tahu kelemahanku dalam menghadapi orang tua, sehingga memilih datang ke rumah dan membuat drama. Ardian datang di saat ibu sedang pergi hajatan, dengan membawakan makanan berliur iblis maka dengan mudah bapak dipengaruhi. Untung ibu sempat SMS memberitahukan niat bapak dan menyuruhku diam. Dengan segera meminta Gus Ilham menghapus guna-guna dari tubuh bapak. Aku segera kembali ke rumah karena tadi tidak pamit ke anak-anak jika luar kota.

"Mama, di mana? Di sini hujan lebat,Ma." Sativa menelpon dengan telpon rumah ketika aku masih di dalam bus.

"Mama masih di jalan, semua di rumah kan. Jangan pergi hujan-hujan ya, biasanya jalan banjir."

Perasaan mulai tak tenang, sebab mbak Umi pulang awal karena anaknya sakit dan Wawan harus mengantar Cahyo ke suatu tempat setelah menjemput mereka. Turun dari bus disambut awan gelap, angin dingin membawa butiran air. Segera melajukan motor, tak mungkin membiarkan anak-anak sendirian di rumah. Sempat menghubungi mbak Indriani, tetapi sedang pulang kampung.

Di tengah perjalanan, temanku Rere menelpon.

"Dek, rumahku kebanjiran. Masuk ke garasi, semoga gak sampai tinggi. Kalau tinggi bisa rusak mobilmu." Aku lupa memberikan kontak mobil ke Rere, sehingga tidak bisa dipindah ke tempat tinggi.

Apa hujan sedemikian hebat sehingga perumahan kami juga terendam banjir, bagaimana dengan rumah yang letaknya di tengah. Padahal rumah Rere berada di block depan saja kebanjiran. Dengan kecepatan tinggi aku melajukan motor, jalanan lengang hanya kendaran berat yang ada. Namun baru tiga kilometer hujan lebat turun, segera mencari tempat berteduh untuk mencari mantel. Tidak ada mantel di jok motor, sedangkan telpon dari rumah terus berdering.

"Mama, air masuk garasi, Ma." Teriak Aegel panik, membuatku kian gemetar.

"Naik, abaikan yang di bawah. Kalian naik ke kamar, cabut kabel TV dan kipas angin di bawah ya. Jangan nyalakan apapun kecuali lampu."

Tanpa berpikir panjang aku menerobos lebatnya hujan setelah menyimpan tas di dalam bagasi. Sangat deras, dingin segera menjajah kulit meskipun belum ada seratus meter berjalan. Tubuh mulai gemetar dan menggigil, bahkan laju motor sedikit meliuk karena tangan yang gemetar. Air mata tak lagi dapat terbendung, deras sederas air hujan.

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang