Part 10

922 47 0
                                    


Mencoba tenang mengendalikan laju roda yang menuruni jalan berkelok dan berbatu, meninggalkan rumah Abah. Anak-anak diam seakan tahu ketegangan ini, Ardian hanya duduk di kursi belakang bersama barang-barang.

Kadang tidak habis pikir mengapa mereka bisa tinggal di puncak bukit, jalanan gelap dan berbatu. Namun, aku pernah tinggal di sana selama hamil dan melahirkan Aegel. Kembali ke Kota Pudak dengan hati yang kembali terkoyak, bukan karena hadirnya perempuan lain tetapi perempuan yang telah membesarkan suamiku.

Hari berlalu, sikap Ardian tak semanis kemarin dan lebih banyak diam. Selalu mengawasi setiap gerak gerikku, terlebih saat keluar untuk urusan bisnis. Setiap pagi aku menyeduh kopi untuknya, tetapi cangkir itu sudah kosong saat kembali dari mengantar anak sekolah. Secepat itukah Ardian menghabiskan minuman panas itu? Namun, aku heran mengapa bunga yang kutanam di pot menjadi semakin layu. Hanya tertawa lirih ketika tahu bahwa setiap pagi, bunga-bunga itulah yang meminum kopi buatanku.

Hari ini aku harus menemui beberapa klien perusahaan bersama Cahyo, maka Ardian bertugas mengantar jemput anak-anak. Karena Mbak Umi hari ini hanya setengah hari, aku menyuruh Ardian membeli makanan untuk anak-anak. Pukul delapan malam kembali ke rumah, disambut keempat bocah dengan tepuk tangan.

"Mama pulang ... Mama pulang." Lelah yang mendera seakan raib seketika, wajah-wajah yang selalu membuatku semangat untuk terus berkarya.

Hanya mengernyit ketika memasuki ruang tamu, sebab ternyata ada tamu yang sedang berbicara dengan Ardian. Tatapan matanya tajam dan sedikit membuat tidak nyaman, dada sedikit sesak tetapi tidak tahu apa masalahnya. Aku hanya mengangguk untuk menghargai kehadirannya, sebab Ardian tidak berniat memperkenalkan.

"Mama ... perut adik sakit." Musa menepuk perutnya, membuatku langsung berjongkok dan meraba.

"Tadi makan apa, sayang?" Mereka berempat menggeleng, aku mendelik karena paham apa yang tengah terjadi. Anakku belum diberi makan.

"Masak adik bilang ke papa sakit perut karena belum makan, suruh gosokin minyak. Nih, sampai habis minyaknya." Dadaku seakan dihantam batu, sesak dan hanya bisa memohon ampun ke pada Sang Pencipta.

Apa karena aku hanya menyuruh Ardian membeli makanan tanpa memberikan uang sehingga anaknya dibiarkan kelaparan, sedangkan dia sibuk membahas sesuatu yang aku anggap hanya pepesan kosong. Aku curiga dengan tamu laki-laki itu, aura negatif terpancar dari wajahnya yang gelap.

Keluar lagi bersama anak-anak untuk makan, menyesali diri mengapa tidak menelpon mereka sejak sore. Mengapa masih percaya dengan laki-laki yang bergelar suamiku itu. Hanya menahan bendungan di pelupuk mata agar tidak jebol melihat anak-anak makan dengan lahap. Jika aku tak bekerja apa mereka akan kelaparan?

***

Setiap hari Selasa sore, Ardian pamit ada urusan dan aku tahu kemana sebenarnya dia pergi. Ke rumah Abah. Iya, Ardian pasti sedang menjalani ritual pengisian pagar diri yang dilakukan oleh Abah, karena hati Rabu dianggap hari keberuntungan Ardian. Tersenyum miris jika ingat kejadian saat Aegel baru dilahirkan di sana. Dengan alasan agar kebal penyakit, Aegel dimandikan oleh Abah. Aku memberanikan diri bertanya ke Nenek Ijah apa maksudnya, almarhumah yang membuka rahasia bagaimana resiko terhadap anakku nanti. Sehingga ketika ritual yang ketujuh, Aegel langsung aku renggut dari gendongan Abah. Namun, saat itu aku tidak tahu bagaimana membuang yang sudah tertanam dalam tubuh Aegel.

Besok aku berencana menemui Gus Ilham agar apa yang ada di tubuh Aegel dibersihkan, karena putra sulungku itu jika marah seperti harimau yang siap menerkam.

"Gus, setiap Selasa Ardian ke rumah Abah."

"Gak apa, Mbak. Saya sudah bersihkan setiap dia kembali ke rumah. Kosong lagi."

Perempuan KetujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang